Sajak-Sajak Agit Yogi Subandi

Gugusan Angin
Yang Menggerai Rambutmu
kau, seorang pendaki yang merintih di kaki bukit
hening di wajahmu seperti melawan kebencian.
lalu luka-luka menyeretmu
dan menghempaskannya ke malam basah.

di langit, luka-luka itu terbentang:
persis mimpi di dalam tidurmu
kemudian kaupandangi dengan mata lebam.
tanganmu bergetar menggenggam bongkah-bongkah kenangan

yang siap dilemparkan ke danau-danau.
kauseperti puing yang dihuni oleh iblis.
matamu memerah, semerah mata penembak jitu
pada konflik Vietnam.
suaramu petir di musim dingin
dan nafasmu diseret-seret sepi.
pada keringat langit, kaupajang kembali ingatan
ingatan yang kerap mengucurkan darah.
darah dari rongga-rongga tubuh.
tubuh yang kembali dibersihkan keringat langit.
seusai pendakian, kaupandang jalan yang tertinggal
dengan mata yang kembali putih
namun menyimpan serpihan kaca.
engkau tahu benar, kematian yang picik mengendap-endap
berkelindan di lembar-lembar angin
yang kerap menggerai rambutmu.
tapi kautetap setia:
mendaki,
turun lagi,
mendaki kembali,
dan akhirnya
mati sebagai pendaki.
(Gunung Betung/Kedaton, 2008)

Di Balik
Pintu

di balik pintu,
kubayangkan wajahmu
tersenyum rekah
seperti kembang hias
di depan rumahmu.
di balik pintu itu,
kubayangkan kausedang sibuk
dengan hasratmu:
tak sabar ingin merengkuh
tubuhku.
di balik pintu ini,
kubayangkan kau
menyiapkan seribu rindu
untuk menyerbuku.
di pintu inilah,
aku membayangkan
kau menjadi gula,
aku menjadi kopi
dan pintu itu
adalah air hangat
yang mempersatukan
kau dan aku
menjadi segelas kopi.
(Kedaton, 2008)

Ode bagi Puisi
kauseperti debu yang berkelindan di angin
setiap butir-butir debu itu musti kutangkap dan
kularutkan ke dalam tenggorokanku.
larik-larikmu, persis seperti benang kusut
yang harus kurapikan, agar dapat kurentangkan
di mata dan dada seseorang.
tubuhmu, tak ubahnya gunung Everest
yang tingginya 8,850 meter
dan harus kutempuh dengan kaki gemetar.
dan sikapmu, adalah salju bulan Januari
di gunung itu yang tak berhenti
menusuk-nusuk:
daging, mata,
paru-paru,
dan jantungku.
tapi ketika aku telah sampai di puncak,
segalanya hilang
hanya dengan helaan nafas pertama
dan ketika aku hendak meraihmu kembali,
aku harus turun,
dan mulai dari awal lagi.
(2008)

Seusai Malam di Kafetaria
:melisa
genggamlah tanganku, seperti engkau menggenggam dompet persegi panjangmu.
yang kaupercaya dapat menyimpan segala sesuatu tentang dirimu.
genggamlah, karena demi Aphrodite, Nyx, dan Eros aku ingin berada
dalam tanganmu.
engkaulah sesuatu yang tak pernah menjelma sungai yang mengalir di balik dagingku.
demi lampu-lampu yang menyatakan malam, demi bulan yang tak bisa menceritakan
tentangku kepadamu, maka genggamlah tanganku.
karena di mimpi ke seratusku, kautelah merapatkan pundakmu di dadaku.
tapi mengapa, malam yang menuntunku di meja penjamuan itu,
membuatku semakin ragu pada cahaya gemintang yang lindap di matamu?
bintang-bintang itu kaupinjam untuk kaurekatkan di matamu, di rambutmu dan
di keningmu. tapi tak sekali pun langit meminta kembali darimu.
ya, lisa, akulah gelap dan kaubintang yang bekerlip itu
tapi jika aku terang, mungkin kautak akan menjelma gemerlap di mataku.
kini, kita berada di tempat yang berbeda.
tak lagi di sebuah kafe yang penuh dusta dari gemerlap lampu
dan bintang-bintang yang kaupinjam itu.
dan aku semakin percaya, bintang-bintang yang lindap di matamu itu,
sesungguhnya bukanlah milikmu,
tapi milik malam yang melindapkan bintang-bintangnya
di matamu.
(2008)





Comments

  1. saya rasa, ini belum semua, ya...
    keluarin dong puisi-puisi dahsyatmu...

    aku tunggu karya-karyamu berikutnya, ya...

    sepi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts