Botol Kubur


Cerpen Arman AZ

Dilansir dari Cerpen Kompas Minggu, 10 April 2011

Jangan petuahi kami perihal amal dan dosa. Usah pula berbuih ludah mendongengkan elok surga dan bengis neraka. Kelaparan lebih mengerikan dari kematian. Jika mati sudah ketetapan, lapar adalah bagian dari kekalahan. Kami pasrah dijemput maut kapan saja, tapi kami enggan mati dengan perut kosong. Maka biarkanlah botol-botol yang mereka tikam ke tanah itu menjadi jalan rezeki kami.

Kuingat kali pertama mencari botol di kuburan. Angin yang membentur bulu tengkuk terasa lebih dingin dari biasanya. Gugup campur cemas, bergetar jemariku saat menggenggam dan mencabut pantat botol dari pucuk makam. Sekilas kubaca nama, tanggal lahir dan tanggal kematian yang tertera dengan cat hitam di kayu nisan. Antara bergumam-berbisik, kuminta maaf pada pemiliknya yang sedang tidur di bawah sana. Malamnya mataku sulit terpejam. Rusuh hati membayangkan arwah pemilik botol menyelinap masuk ke dalam mimpi, menyumpahserapahiku yang lancang mencabut botol dan menyuruhku mengembalikannya ke tempat semula.

Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kini, buatku, mencabut botol di kuburan telah menjadi hal biasa saja layaknya makan, berak, ketawa, atau kentut. Entah berapa botol kuburan yang telah kucabuti. Melihat botol menancap di gundukan makam bagai memergoki uang yang berkilat-kilat disorot cahaya matahari. Saat mencabutnya, tak lupa kuingatkan pada orang di dalam sana agar jangan mengutukku gara-gara sebiji botol. Sebagai imbalan, kubersihkan sampah yang berserak di sekitar makam mereka. Agar kian iba, acap kutambah-tambahi: kami membantu orangtua cari nafkah, hanya ingin bertahan hidup, atau botol itu sangat berharga buat orang miskin macam kami. Mengingatnya, aku nyengir sendiri. Serupa orang bodoh saja bicara pada angin. Untuk apa minta izin pada tulang belulang, pada daging yang telah lebur dengan tanah, pada jasad yang busuk bersama waktu?

Yang tak bernyali mencabut botol kuburan, acap menakuti-nakuti: di sana angker, rumah segala jenis hantu, nanti kualat, kesambet makhluk halus, dikutuk arwah yang murka. Yang sok alim menggurui: jangan menumpuk dosa. Ah, soal itu, biar Tuhan yang menimbang. Kami pasrah, terima bersih saja. Kami hanya menumpuk barang bekas. Ada pula yang mencetus, kelak kami akan diganjar di neraka; botol-botol itu akan ditancapkan ke anus kami. Ada yang terbahak-bahak mendengarnya, ada pula yang kontan terdiam dan berwajah murung.

Kami anjing-anjing kecil yang besar di jalanan. Diasuh debu kemarau dan hujan yang riang. Selain bak sampah, taman kota, terminal, trotoar, lorong-lorong pertokoan, atau pasar becek bau bacin, kuburan pun jadi ladang pemulung cilik macam kami. Dalam kelompok-kelompok kecil—tak pernah ada yang nekat pergi sendirian—kami sambangi kuburan.

Jika ada yang sok iba bertanya tentang orangtua, keluarga, atau kenapa tak sekolah; kami punya jawaban berbeda untuk pertanyaan yang sama. Senang rasanya membuat mereka terdiam, menghela napas, atau bermimik sedih. Tak perlu sekolah untuk pandai berbohong. Jika berpapasan dengan anak-anak berseragam sekolah di jalan, tak sungkan pula kami rampas apa yang mereka punya: termos minuman, topi, tas, sepatu. Ada juga yang mujur berhasil merampas telepon genggam mereka.

Kami hanya takut pada Bang Gayu, duda empat puluhan, tukang mabuk dan buat onar. Hampir tiap hari kami dipalaknya. Kami muak, tapi tak berdaya. Mata kirinya picek. Kabarnya, waktu bujang, mata itu ditujah sesama preman yang berebut wilayah kekuasaan. Bang Gayu terkenal doyan mengendap malam-malam, mengintip perempuan tidur. Yang lebih parah bila dia kumat, salah satu dari kami akan dibawanya pergi ke tempat sepi. Meski tengah malam, kami tak bisa mengelak di bawah ancaman. Hanya bisa pulang meringis menahan nyeri di dubur.

Kami mendarat siang bolong di pemakaman umum yang terimpit di antara rumah-rumah penduduk. Mirip stasiun berjejal penumpang di ambang lebaran, nyaris semua kuburan yang kami datangi telah sesak menampung jasad manusia. Makam-makam yang kompak menghadap ke satu arah itu bagai kerumunan manusia yang gelisah menunggu moncong kereta muncul dari barat. Tak perlu peta untuk menuntun dari satu kuburan ke kuburan lainnya. Peta tak punya jemari untuk memungut dan menghirup kamboja yang tumbang disentuh angin. Peta tak punya mata kaki untuk menghindari lumpur selepas hujan. Lebih dari itu, ia tak bisa mengendus aroma kematian.

Matahari menancapkan panah-panah teriknya ke ubun- ubun. Ada kincir bambu bungkam dekat asap tipis sisa pembakaran sampah. Bunga-bunga kamboja berserak. Ayam-ayam liar mengorek-ngorek tanah. Konvoi semut hitam di atas marmer putih. Cacing, ulat, dan kaki seribu menyelinap ke balik sampah dedaunan. Banyak makam telah berlapis keramik dan berpagar runcing. Tak sedikit pula yang telantar, nyaris rata dengan tanah, bertahun tak diziarahi keluarganya. Pohon-pohon besar menjulang nampak angker. Seperti ada yang mengintai kami dari balik kelam dahan dan batangnya. Di beberapa kuburan, ada semacam pondok sederhana. Konon, di dalam- nya ada makam keramat orang-orang sakti atau disegani di masa lampau.

Tempat yang sesekali ramai bila ada yang mati, mirip pasar tumpah menjelang dan saat hari raya, senyap muram di hari-hari biasa itu; memang bisa jadi tempat rehat yang enak. Kami tak ada alasan untuk bergegas di sana. Pun tak perlu lagi beruluk salam, sopan santun saat memasuki gerbangnya. Zaman sekarang, salam cuma basa-basi, tak lahir dari hati. Sehangat-hangat salam, masih lebih hangat tahi ayam yang terinjak kaki kami.

Dengan karung kumal, kami berpencar layaknya bermain di tanah lapang. Mata kami jelalatan mengincar makam yang nampak baru, sebab di sanalah biasanya teronggok barang yang diburu. Kebanyakan botol bening bekas sirup, bukan bekas kecap, apalagi minuman keras. Jarang ada botol menancap di makam-makam yang sudah dimarmer.

Mataku tersenyum memergoki botol bening hampa yang nyaris menempel dengan kayu nisan. Mulut botol menancap dalam tanah. Pantatnya nungging miring menuding langit. Airnya telah lama lesap dalam tanah. Hanya butir-butir tanah kering menempel di badannya. Mungkin sisa hujan beberapa hari silam. Kembang-kembang aneka warna yang bertabur sepanjang puncak gundukan telah layu. Tak ingin disalip saingan, jemari kananku mencengkeram pantat botol itu. Perlahan dan hati-hati mencabutnya, jangan sampai mengusik tidur orang di dalam sana. Lega rasanya saat botol itu sudah kulesakkan ke dalam karung lusuh kumal.

Kami seret langkah keluar kuburan diiringi suara ngilu gesekan botol dalam karung. Botol-botol itu tak langsung kami jual, tapi ditumpuk bersama barang-barang rongsok lainnya. Seminggu kemudian baru kami usung ke lapak pengepul, menukarnya dengan lembar-lembar uang yang tak sampai setengah jam digenggam sebelum pindah ke tangan orangtua. Itulah yang kelak mengisi periuk dan bakul nasi di gubuk kami. Andai kami dapat upah, lekas habis kami tukar makanan murahan atau es degan.

Beberapa kali kami bergunjing kenapa botol-botol itu ditancapkan ke makam orang yang baru ditanam? Bukankah sia-sia menelantarkannya di kuburan? Bukankah mereka yang sudah mati tak bisa merasakan apa-apa lagi? Beragam pendapat kami: sebagai obat dahaga buat mereka di alam sana, agar yang berkalang tanah selalu segar, dan lainnya. Yang pasti, mereka yang menikam botol itu tentu tak menduga kelak ada yang mencabutnya. Ah, kenapa bukan uang saja yang ditancapkan di gundukan tanah itu agar kerja kami jadi lebih mudah?

Memang pernah ada yang meriang setelah mencabut botol kuburan. Mukanya pucat pasi. Semula kami kira masuk angin biasa. Punggungnya sudah di kerok, tapi tak ada perubahan berarti. Dia terus saja menggigil. Kami panik, tak ada yang tahu penyakit apa yang merongrong tubuhnya. Ada yang berbisik, dia kesambet jin penunggu pohon besar di tengah kuburan karena kencing sembarangan di sana. Untung dia sembuh begitu saja hingga terhindar dari rumah sakit. Dia pun tak jera mengulang perbuatannya.

Tak selalu mulus hajat kami memetik botol di kuburan. Acap kami keluar dengan tangan kosong dan hati dongkol. Pasalnya? Tertangkap basah orang lain! Mungkin warga sekitar yang mengurus kuburan, tukang gali kubur, atau tukang ngaji kubur. Segerombol pemulung cilik kumal keliaran dalam pemakaman umum barangkali memancing rasa curiga mereka. Kami seperti diintai dari tempat tersembunyi lalu mereka muncul tiba-tiba begitu memergoki apa yang kami perbuat. Meski serupa tapi tak sama, kami telah hafal hardikan mereka:

”Kembalikan botol-botol itu!”

”Kecil-kecil sudah jadi maling!”

”Cari sampah di tempat lain!”

”Banyak jalan cari duit, bukan maling botol di kuburan!”
 
Kami, anjing-anjing kecil dengan hati ciut, terbirit-birit menjangkahi makam demi makam. Menjauhi mereka, orang-orang uzur yang tampaknya mengidap penyakit darah tinggi hingga mudah murka. Sepanjang jalan pulang, gantian kami rutuki mereka. Macam kami tak tahu saja, mereka juga kerap dapat rezeki lewat orang mati. Sudah miskin, kedekut pula. Arwah pemilik botol dan hantu yang mukim di pohon-pohon dalam kuburan lebih baik ketimbang orang-orang yang menggebah menimpuki kami. Mereka tak pernah muncul tiba-tiba untuk mendamprat kami. Mereka yang lelap berserak dalam tanah itu lebih maklum, kami datang diseret angin kemiskinan.

Dan ini rahasia perusahaan. Tak pernah kami bocorkan muasal botol kepada pengepul. Patah ranting rezeki kami jika mereka tahu. Terbayanglah mimiknya bila tahu dari mana asal botol-botol itu. Pengepul pun menolak botol bermulut sumbing. Tak laku dijual ke bos besar, dalihnya. Siapa, di mana, dan bagaimana sosok bos besar itu, kami tak pernah tahu. Yang pasti, tiap mencabut botol, kami amati dulu bibirnya. Jika cacat, kami kembalikan ke tempat semula. Tak mau dua kali lipat kalah kami. Sudah tambah dosa, botol urung jadi uang pula. Belum lagi jika pengepul lengit mencatut jumlah timbangan dan seenak udel mematok harga rongsokan yang kami bawa.

Bang Gayu mati anjing. Tengah malam tadi dia ditikam empat lubang entah oleh siapa. Kami pura-pura kaget, tapi dalam hati bersyukur. Sempat kudengar bisik orang-orang yang mengekor saat mengantar kerandanya ke kuburan: ”Nggak usah diberi air. Tancapkan saja sebotol anggur murahan untuk menemaninya dalam kubur...” Kami terkekeh mendengarnya. Meski melarat, orang-orang tua kampung kami masih suka guyon. Orang mati pun bisa dijadikan bahan kelakar.

Sepoi embus angin ambang petang. Ketika orang-orang pergi dan kuburan sudah sepi, kami bersijingkat menyambangi makamnya. Kami amati gundukan tanah merah bertabur kembang. Kami senang dia mati. Hilang satu masalah. Kami terkekeh melihat seorang teman mencabut botol yang baru beberapa jam menancap di kuburnya. Aku tersenyum kecut memergoki lubang kecil bekas botol itu.

Kubuka retsleting celana. Serupa anjing kencing, kunaikkan kaki kiri ke nisan kayu. Kuarahkan rudal ke sasaran. Sekedip kemudian, air kekuningan berdesis membentur gundukan tanah. ”Ini minuman tambahan untukmu, Anjing Tua...” kataku sambil menatap namanya di nisan kayu. ”Balaslah sekarang kalau kau bisa...” disambut kekeh yang lainnya.

Dendam yang berkarat dalam benak kami akhirnya tunai. Ada kebahagiaan yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata saat menyaksikan air menciprati kayu nisan dan gelembung-gelembung kecil memenuhi lubang bekas botol. Pengalaman pertama memang guru terbaik. Kami tak peduli bila kelak di neraka, anus kami berkali-kali dijejali botol. Orang dalam kubur ini, yang botolnya kami cabut dan makamnya kami kencingi, telah mengajari kami bagaimana sakitnya.

Bandar Lampung, Januari 2011 

Comments

Popular Posts