BERSAMAMU

Puisi Agit Yogi Subandi


apa yang menyebabkan kita berjalan bersama, hingga para malaikat
berterbangan di belakang kita. debu-debu berhenti sejenak, seolah bersujud
melihat malaikat-malaikat itu. kita pun bersih dari pandangan benci.
hisaplah udara yang seperti sehabis hujan ini, dan matamu akan memandang
dengan sangat terang ke arah rerumputan hijau dan siring yang dialiri air
jernih. tapi mengapa tak satu bunga pun yang tumbuh, bukankah dedaunan
begitu hijau; sehijau teratai di kolam-kolam.

barangkali, sejak berjalan bersamamu, aku menemukan kembali rumahku,
rumah dengan bilik-bilik yang lebih luas dengan jendela-jendela kaca yang
lebar. mungkin itulah mengapa aku tetap bersamamu. dan segala yang kita
tangkap hendaknya kita terima, bagaikan sebuah mainan yang lepas dari
tangan seorang bayi, ketika dia tidur dalam damai di pangkuan Tuhan 1.
kutemukan pula jam tangan yang hilang, kalung tali dengan hiasan matahari
yang sedang tersenyum ke setiap pandangan, juga suaraku yang bijak, dan
senyumku yang seperti rekah angsoka di pekarangan para dermawan. ya,
sayang, aku hanya bisa menduga mengapa aku berjalan bersamamu.

aku seperti menemukan sebentang jalan tanah. tanah yang terukir oleh butir-
butir hujan. jalan yang berjanggut hijau: menjuntai. aku seperti berada di
sabana yang menyala: hijau, peristirahatan para ular. ular-ular yang sedang
tertidur pulas di kaki cahaya. dan aku masih ingin bersamamu: memungut
sesuatu yang telah lama tak terlihat. tapi benarkah sesuatu di alam semesta
ini dapat hilang. aku tak meyakininya. sebab hilang, adalah sesuatu yang
lenyap dari pandangan. tapi adakah yang benar-benar lenyap. sebab benda-
benda atau apa saja, kuyakini tak hilang, melainkan menjauh, berpindah
tempat. dan segala sesuatunya begitu tenang seperti malam, menghindar
dari semua pandangan mata 2.

dan kini, semakin aku memikirkanmu, semakin banyak pula yang harus aku
pelajari tentangmu: padang pasir di wajahmu, rimbun peristiwa di dadamu,
juga oase di matamu. kita memang tak pernah mengetahui alasannya, tapi
yang pasti kita tak seharusnya sendiri. tak ada yang pasti, sayang, tak ada.
tapi tugas kitalah: berpikir dan mencoba memastikannya.

Bandarlampung, 2010

Catatan:

[1] Mengutip dari penyair Persia dalam tradisi sufi, Hafiz (1325-1389) yang berjudul “Kesementaraan”, yang diambil dari buku Jiwa Yang Dimabuk Cinta, yang diedit dan diberi pengantar oleh Deepak Chopra, Pohon Sukma, Jogjakarta, 2004. Hlm. 55.

[2] Mengutip dari penyair modern terbesar di India, Tagore (1861-1941) yang berjudul “Sang Pengelana”, Op. Cit., hlm. 112.








Comments

Popular Posts