TAMAN FLAMBOYAN

Puisi Agit Yogi Subandi


Sore ini aku ingin menggenggam tanganmu; melewati cemara
yang berbaris rapi, cuaca yang berubah-ubah dan belajar
membaca datangnya arah angin. Di situ, ada bukit landai
dengan cahaya matahari melancip kuning: melandas ke pipi
dan menembusi kemejamu. Sehamparan rumput turut
cembung: menutup muram tanah. Akan ada yang
menyembul: sebatang pohon flamboyan. Dan setiap yang
datang, akan merasa sendiri.

Taman, menghisapmu: menggaib. Seketika dan tenang. Pagar,
batas antara matamu dan tubuh orang lain. Kau tak akan
melihat siapa-siapa kecuali dirimu, meski nyatanya banyak
yang mengunjungi taman itu. Jika niatmu bertamasya (sejak
di pagar utama),  maka matamu akan disuguhkan cemara tua
yang menyembul perlahan, satu-persatu. Rumput manila
perlahan memenuhi setiap penjuru. Burung-burung
berdatangan dengan paruh mengangan serangga. Sorot cahaya
statis. Tapi cahaya hanyalah cahaya: bebas kau tafsirkan.
Sebab waktu, segenggam pasir. Tanda: tak lengkap.
Berjalanlah. Jangan beri kesimpulan sebelum kau benar-benar
keluar pagar.

Semakin ke dalam, kau akan berjumpa dengan pohon
flamboyan. Tak perlu mencari, ia akan muncul sendiri:
perlahan dengan ujung ranting berambut dan berdaun sirip
rangkap. Jika kau duduk di kaki pohon itu, maka ia seketika
menyala: merah! Daun-daunnya yang hijau bulat telur,
langsam tertutup. Bunganya, jarum jam yang berputar cepat,
menggasing; seperti tabung lava di atas perbot. Kembang-
kembang api melompat-lompat. Berpercikan.

Di bawah pohon itu, kau bersepakat kepada angin untuk
melayangkan kota yang semakin mengecil di rambutmu. Lalu
matamu terpejam, tubuhmu mengambang dan memimpikan
dirimu sendiri, yang menempuh perjalanan jauh tanpa
menemui marka jalan yang tertuliskan nama kota dan
jaraknya. Tak ada rumah apalagi sumur. Hanya kaktus-kaktus
yang tingginya melebihi dirimu. Sulit membangunkanmu.
Satu-satunya yang menyadarkan adalah sulur keringatmu:
mengalir dari rambut ke matamu. Apabila kau berdiri,
seketika bunga-bunga itu gugur: satu-satu: permadani bagimu.

Dulu di taman ini, adalah barisan cemara yang berdengung di
setiap ujungnya. Empat baris di setiap rantai tanah. Dari
hijau, bau, dan deraian cemara itulah yang akhirnya
memperkuat dengung yang mengusik-usik dadamu. Setiap
yang keluar dari taman ini, bunyi itu beranak-pinak:
berkelindan di keserabutan otak dan liang telinga. Kemudian
bermimpi untuk kembali. Cemara itu tetap ada, tapi sebatas
ingatan: sebatas hiasan. Sekarang, taman ini adalah simbol-
simbol yang bebas untuk kau rengkuh dan tafsir. Jangan
anggap aneh dan rumit. Karena mula kenyataan adalah
keanehan dan mula kesederhanaan adalah kerumitan.

Tak perlu merentangkan payung atau mengebut jas hujan di
sini. Tak hujan! Tak ada. Hujan-hujan dicuri para penyair
yang hendak mencairkan es yang makin hari semakin
mengeraskan jantungmu, hingga kau tak bisa merasai degub
jantung ketika seseorang menggerai rambutmu yang seperti
sungai berbias rembulan. Panasnya telah ditarik oleh para
musafir yang melintas; agar mereka dapat istirah di taman ini.

Taman ini, taman yang menggigil. Gigilnya, tangan penyair
yang gagal mengasah lancip batu jurang untuk menghujam
jantungmu.

Taman ini, taman yang gembira. Gembiranya, riang musafir
yang dapat menempuh perjalanan dengan kulit tanpa harus
terbakar.

Jika telah genap perjalananmu menyusuri setiap penjuru,
maka keluarlah dan bawa sesuatu untuk kau tanamkan di
rumahmu. Taman ini akan menghilang ketika tubuhmu
mencapai ambang pagar. Taman ini menggersang dan
mengeras di bawah musim panas. Ya, ia harus kembali kepada
dirinya. Karena mulanya, adalah kebun gersang petani gagal.
Orang-orang menyebutnya si lidah api di dalam hutan.
Karena ia menyala sendiri. Lidah api itulah yang akhirnya
membunuh segala yang tertanam, segala yang hidup dan
segala yang hinggap. Dijumpainya seribu ihwal kepergian.
dibangunlah taman: dengan bunga flamboyan yang selalu
gugur di setiap niat meninggalkan.

Kedaton, 2008

Comments

Popular Posts