Identitas


Mengetahui, memiliki identitas lengkap tentang bangsa sendiri, adalah sebuah proses untuk memahami diri sebagai masyarakat, juga sebagai individu di dalam masyarakat. Tapi dari hal semacam ini pula, kehendak untuk berkoloni semakin menjadi. Mengapa? Karena dalam pemahaman itu, akan diketahui kekurangan dan kelebihan. Dalam pemahaman ini, kata 'eksplorasi' menjadi penting dan menjadi suatu tolak ukur keberhasilan sebuah pencarian atau menemukan. Ini yang disebut Friedrich Scleiermacher, bagian-bagian yang akan membentuk keseluruhan atau dalam istilahnya, "bersifat komparatif (keseluruhan) dan divinatorik(devide=pembagian)."

Jerman, pada perang dunia ke II, berusaha mencapai koloni secara perbagian. Jerman melakukan ini bukannya hanya sebagai bentuk 'kehendak menguasai' seperti yang di katakan Friedrich Nietzsche, tapi juga sebuah pernyataan kebudayaan dari perwakilan ras arya Jerman, yang diwakili oleh Hitler. Benar saja, dengan adanya pembersihan ras selain ras arya itu, ras-ras lain seperti tertindas dan kehilangan kebebasannya. Akibatnya adalah, nasionalisme. fanatisme. dan lain-lain.

Lihat saja perlakuan si Fuhrer Jerman itu terhadap kaum Yahudi. Semua yang berbau Yahudi, diberi tanda, dan dilarang makan di tempat umum, atau berjalan di trotoar. Saya yakin, bahwa apa yang dikehendaki oleh Hitler, punya maksud baik, yaitu, mensterilisasi budaya Jerman dari kebudayaan asing, atau juga dapat dikatakan, orasi kebudayaan besar-besaran. 

Di sinilah letak pertentangannya, ketika kehendak berkuasa itu dicapai dengan cara-cara yang arogan, seperti Hitler yang Fasis, dan kebebasan seperti barang yang mahal. Dan akhirnya, setiap hari, kita disuguhkan sebuah tontonan yang menyibukan kita untuk menebak-nebak, "siapa menguasai siapa." lantas beberapa orang merasa bosan. Beberapa orang akan menjadi apatis. Beberapa orang merasa muak dengan kebaikan. Dan beberapa orang diam saja, atau pura-pura berbahagia, di ruang-ruang karaoke, yang tak memberi kesempatan kita--meminjam kata penyair India, Rabindranath Tagore--berbicara dan mendengar dengan hati. Di kondisi itu, kita patut bertanya, dalam nada yang sama seperti dilantunkan Louis Armstrong, 'what a wonderful world?'

Dalam perspektif teknik keaktoran yang dikembangkan Stanislavski, fiksi menjadi penting dalam membangun karakter sebuah tokoh. Karena, acting yang dimunculkan akan menjadi alami, dan otentik. Sebagai contoh, Hitler tidak akan mungkin mampu menggerakkan seluruh rakyat Jerman, untuk mendukung segala cita-citanya, tanpa ada fiksi yang jelas di dalam kepalanya. Fiksi, adalah kisah, identitas, gambaran, data-data, bahkan sejarah. Tubuh, sebagai wadah, meladeni hal itu. Begitu juga dalam hal yang sentimentil seperti misalnya, asmara.

Dan kini, kita hidup dalam hal-hal tersebut. Tanpa kita sadari, Indonesia juga berdiri dari fiksi Sukarno terhadap identitas Indonesia itu sendiri, yang didesain sedemikian rupa, dicari sandaran-sandarannya, dan akhirnya dorongan batin yang kuat, membuat dia berkata, "Jasmerah, jangan sekali-sekali melupakan sejarah.." Sebaiknya kita memang patut mempertanyakan tentang identitas kita, bangsa kita, dan Indonesia.

Comments

Popular Posts