KAMPUNG KECUBUNG

Cerpen Yulizar Fadli

dilansir dari koran Lampung Post, Minggu, 13 November 2011

Bulan benjol. Awan berkerumun di bawahnya. Perempuan kurus berwajah tirus itu terus dibuntuti bocah-bocah berseragam putih- merah sampai ke muka pasar. Ejekan bocah-bocah akan berhenti jika perempuan itu sudah benar-benar masuk ke dalam pasar. Perempuan gila yang suka telanjang di tengah pasar. Kadang minta makan, kadang minta dibuatkan es cendol, kadang mengamuk, kadang tidur, dan kadang hanya duduk melamun seperti karung. Tapi para pedagang dan pembeli sudahlah mahfum tentang penyebab utama mengapa perempuan itu menjadi gila.

***

 Mereka berempat berkumpul di warung remang-remang milik Mbak Minuk; Yariman, Puguh, Otong, dan Upik. Mereka minum sampai mabuk. Sudah secerek tuak mereka tandaskan. Tiba-tiba ide nakal terbersit di otak Upik. Perlahan ia mengeluarkan sebotol minuman mirip teh. Sementara Otong, Yariman, dan Puguh, tengah asik menikmati lagu dangdut kesayangan mereka. Selain Upik, tak ada yang tahu apa nama minuman itu. Pokoknya, racikannya adalah biji tumbuhan berbahaya yang tumbuh liar di hampir seluruh kampung. Tak ada juga yang tahu bahwa sebenarnya Upik cemburu dengan Yariman.

Persaingan cinta tak sehat antar remaja kampung pun terjadi. Tak terasa, satu botol telah Yariman habiskan. Upik mengeluarkan botol kedua. Alunan musik dangdut itu membuat kepala mereka bertambah berat. Perlahan, tubuh dan kaki Yariman lemas, seolah tanpa tulang sum-sum. Pandangannya buyar. Yariman pingsan. Upik menyeringai. Puguh, sebagai sahabat karib Yariman, menjadi gusar dan khawatir. Dalam keadaan tak sadar, Puguh membonceng Yariman pulang dengan motor bututnya, kemudian meninggalkannya di depan teras rumah begitu saja, seolah Yariman bangkai kucing yang ia buang di pinggir jalan.

***

Pagi mekar di kampung Taman Sari. Kepak kawanan perenjak mulai sibuk mencari makan, terbang dari satu pohon ke pohon lainnya. Sementara, di puluhan rumah berdinding papan, muncul para petani dengan segala macam alat pertanian.

Dari belasan rumah lain, orang-orang mulai keluar membawa barang dagangan untuk dibawa ke pasar. Anak-anak berangkat sekolah dan memenuhi jalanan beraspal kasar. Ada yang berjalan, ada juga yang bersepeda.

Tapi sesungguhnya, tak semua rumah penduduknya berdinding papan, sebab di sana, di antara kerumun rumah papan, ada satu rumah bagus bertingkat dua. Dari rumah itulah muncul seorang perempuan berusia 26 tahun. Dia berlari-lari, seolah ada yang hendak diburunya. Perempuan itu terus berlari menuju sebuah rumah papan yang berjarak tigaratus meter dari tempat ia keluar. Selang beberapa belas menit, ia sampai di tempat tujuan. Pukul tujuh pagi ketika itu.

“Kulonuwon,” ucapan salam berulang tiga kali. Yang memberi salam mulai resah karena tak ada jawaban dari pemilik rumah. Sembari menunggu, tak sengaja kakinya menginjak seekor cacing tanah yang berjalan pelan menuju lubang. Ketika sahutan terdengar dari dalam rumah, senyum tipis tergambar di wajahnya.

”Monggo,” suara lelaki tua itu tertahan di kerongkongan. “Ada apa Tik, pagi-pagi kok datang kemari?”

“Anu, Mbah. Anaknya Robayah kesurupan.”

“Ladalah, ayo kalau begitu,” setelah menjawab, lelaki tua itu kembali masuk rumah, mengambil plastik berisi tembakau. Buru-buru ia mengunci pintu lalu berjalan bersama perempuan yang menyusulnya.

Berdua menyusuri jalan kecil, melewati rumah papan, juga varian pohon dan tanaman; waru, sengon, bambu, dan kecubung. Di bawah pohon rimbun dan rindang, tersua puluhan gunduk tanah yang berpatok dan bernisan. Enam di antaranya adalah makam pahlawan yang gugur dalam perang tahun 1948. Tapi keenamya telah di pindahkan ke Metro. Jaraknya 50 km dari kampung itu.

Hampir tak sadar ketika melewati pemakaman, Atik mengangkat jaritnya, berjingkat, dan melompat ke samping. Tangan kanannya menutup mulut sehingga jeritannya terdengar kecil, seekor ular tanah baru saja melintas di depannya. Mbah Sobari buru-buru mengusirnya. Lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Atik, lalu memberi tahu bahwa ular tersebut sudah pergi. Kata-kata Mbah Sobari mengambang di udara bersama kerik jangkrik, samar desis ular, dan kicau kepodang.

Dalam gesa, tak jauh dari makam pahlawan, keduanya sampai di sebuah jembatan. Jembatan Pahlawan, begitu penduduk menyebutnya.

***

Di dalam rumah bagus bertingkat dua, Robayah, janda paling kaya di kampung Taman Sari, duduk termangu di bibir ranjang sembari memijit-mijit kepalanya yang mulai pening. Sementara, di sampingnya, putra tercinta sedang terbaring tak sadarkan diri. Perempuan paruh baya itu dikelilingi tiga pembantu setia.

“Kok Atik lama sekali, ya?”

“Sabar, Bu. Sebentar lagi juga sampai,” sahut Sakiyem menenangkan majikannya.

“Coba kamu susul, Di. Aku takut terjadi apa-apa dengan dia,” pinta Robayah kepada Juardi karena anaknya terbangun dan berteriak-teriak tak keruan.

Pemuda itu mulai melantur. Badannya terasa gerah. Ia minta agar pakaiannya dilepaskan. Berangsur-angsur kesadarannya hilang. Ia mulai berhalusinasi. Dalam halusinasinya ia melihat beberapa anak kecil berkepala botak sedang bercanda di atas lemari kamarnya, juga kelebat puluhan peri yang terbang kesana kemari sembari mengayun-ayunkan tongkat ajaib yang ujungnya berbentuk bintang. Tapi tiba-tiba halusinasinya buyar ketika kepalanya serasa membesar. Mungkin akan meledak. Robayah dan ketiga pembantunya mulai kewalahan menghadapi tingkah-polah Yariman. Tapi untunglah, di tengah ketegangan itu, Atik dan Mbah Sobari segera datang.

“Duh Gusti, akhirnya sampean datang juga,”sambut Robayah seraya memegangi anaknya yang meronta.

“Iya, Nduk. Pegang kuat kaki dan tangannya, jangan sampai lepas.” sahut lelaki tua itu tanpa basa-basi. Tampaknya Mbah Sobari tahu apa yang harus ia lakukan.

“Tolong ambilkan segelas air putih.” Mbah Sobari mulai beraksi. Ia menempelkan telapak tangan kirinya ke jidat pemuda itu, lalu perlahan pindah memegang kepalanya. Mulutnya komat-kamit, kemudian tersembur air dari mulutnya. Dua kali semburan itu mengenai muka si pemuda. Lalu, si empunya mantera menepuk-nepuk pipi pasiennya seraya bertanya, “Sadar, Le. Kamu kenal aku, toh?”

Mendengar pertanyaan itu, sontak ibunya membisikkan sesuatu. Mungkin ingin memberi tahu siapa nama orang yang menanyainya. Tak lama setelah Robayah berbisik ke telinga anaknya, jawaban terdengar juga dari mulut pemuda yang sejak semalam kehilangan kesadarannya. Matanya setengah terbuka, serupa pintu dan jendela di kamar tidurnya.

“Kamu manusia planet, toh?” jawab pemuda itu. Mbah Sobari terkejut bukan main.

“Yah, siapa nama lengkap anakmu? Bin siapa dia?” pertanyaan itu ditujukan kepada Robayah

“Yariman bin Yatman Kasrowi,” sahut Robayah.

Si Mbah kembali komat-kamit. Setengah jam ketegangan berlangsung. Mantera si Mbah mengambang di udara, kemudian perlahan terbang dibawa angin, ke atap rumah lalu ke atas genting. Bisa saja, mantera yang hanya diketahui Mbah Sobari itu terekam oleh kawanan burung gereja yang tengah berkicau, melompat, dan terbang dari satu genting ke genting lainnya.

Dari bawah atap rumah, di kamar yang lebar, Mbah Sobari menarik sebuah kesimpulan. Saat itu Yariman tertidur karena pengaruh mantera. Tubuhnya terkulai lemas. Pemuda itu bertelanjang dada. Ia mengenakan celana berwarna coklat yang secoklat kulitnya.

Tapi sebelum mengutarakan kesimpulannya, si Mbah minta izin beristirahat sepenak. Ia memungut plastik berisi tembakau, cengkih, kemenyan, dan papir, untuk kemudian digulung membentuk kerucut kecil memanjang. Sesaat dari balik pintu kamar, Sakiyem membawa segelas kopi, kemudian menaruhnya di atas meja kecil dekat Mbah Sobari duduk. Si Mbah menoleh ke arah Sakiyem, mengangguk ringan dan tersenyum, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke kantung plastik yang sedang ia gamit. Ia kemudian memungut korek kaleng berwarna biru. Pelan-pelan jempol rentanya memantik korek api. Empat kali sudah ia memantik koreknya, namum tak juga hidup.

Di depan Mbah Sobari, Juardi menyodorkan nyala api dari korek kepunyaannya. Si Mbah sedikit kaget, ia merasa detak jantungnya berdenyut cepat. Beberapa saat ketika kesadarannya pulih, ia tersenyum datar, lalu menyodorkan rokok yang telah dikatupkan di kedua bibirnya yang keriput ke arah nyala korek api. Pipinya terlihat kempot ketika berusaha menyalakan rokok. Tak lama setelah rokoknya hidup, Mbah Sobari memejamkan mata. Suara beratnya tertahan di kerongkongan.   

“Cah bagus ini nggak kesurupan, tapi keracunan kecubung.” ujar Mbah Sobari pasti. Bibir kerut-merut itu kembali mengisap lintingan tembakau.

Sepersekian detik Robayah dan keempat pembantunya bengong, terlebih Juardi.

“Jadi bagaimana, Mbah?”

“Kasih dia tempe goreng, tapi nggak usah dikasih bumbu, lalu buatkan segelas kopi pahit.”

***

Ya, itulah nama alias kampung Taman Sari; Kampung Kecubung. Sebuah kampung peninggalan pemerintahan orde lama. Awalnya kampung itu masih termasuk Kabupaten Lampung Tengah. Tapi karena pemekaran, saat itu pemerintahan orde baru yang tengah berkuasa, kabupaten itu berubah nama menjadi Lampung Timur. Mbah Sobari sering bertutur tentang awal mula julukan kampung itu: Tanaman kecubung memang tumbuh subur di Taman Sari. Itulah mengapa Taman Sari di sebut kampung Kecubung. Pada jaman penjajahan dulu, tanaman itu digunakan untuk meracuni kompeni. Tapi sekarang, kecubung di salah gunakan. Tak sedikit warga yang keracunan, gila, bahkan meninggal karena meminumnya terlalu banyak.”

***

Atas perintah Nyonya rumah, Sakiyem bergegas ke pasar mencari tempe. Sepeda jengki dikeluarkan, dikayuhnya menuju pasar becek di kampung itu. Ia mengayuh sekuat tenaga. Beberapa menit ketika sampai di tengah pasar, perempuan itu menatap berkeliling, mencari sosok tambun Lek Wasbir. Bukan Lek Wasbir yang dia lihat, tapi Suratmi yang tengah tertidur pulas di samping warung Makmun. Sakiyem hanya menggelengkan kepala.

 Beberapa saat Sakiyem mengalihkan pandangan. “Nah itu dia orangnya,” batin Sakiyem membatin. Setelah wajah Wasbir terlihat di antara kerumun orang, Sakyiem mendekat dan langsung membeli beberapa tempe. Setelah selesai, ia bergegas pulang ke rumah. Sekilas pandang dalam perjalanan pulang, mata Sakiyem menatap langit. Ia melihat kawanan awan perlahan menghitam.

Akhirnya Sakiyem sampai. Dengan segera ia menyandarkan sepeda, lalu masuk lewat pintu belakang. Segera pula ia melucuti plastik pembungkus tempe, menghidupkan kompor, kemudian menaruh wajan berisi minyak di atasnya. Setelah minyak itu panas, ia langsung menggorengnya. Tak berlama-lama ia menggoreng.

 Waktu dia mengangkat tempe goreng itu, ada yang memanggilnya dari balik sekat yang memisahkan ruang dapur dan ruang makan. Rupanya suara Atik, ia sedang menyeduh kopi pahit. Setelah selesai menggoreng tempe, Sakiyem lalu menghampiri Atik. Sakiyem bercerita pada Atik tentang Mbah Sobari dan Suratmi. Hap... dan dalam hitungan menit semuanya siap, mereka segera membawa kopi dan tempe itu ke dalam kamar.

Ketika Sakiyem dan Atik sampai di kamar, Mbah Sobari sudah tak ada. Ia diantar pulang oleh Juardi. Tapi sebelum mbah sakti itu pergi, lebih dulu ia membuat Yariman siuman. Pemuda itu setengah sadar. Robayah menyuapkan tempe goreng ke mulutnya, kemudian meminumkan kopi itu dengan sendok. Tiga tempe dan beberapa sendok kopi pahit masuk ke perut pemuda itu. Yariman mulai merasakan reaksinya. Penawar racun kecubung versi Mbah Sobari membuat perutnya mual, lalu muntah. Dua hari kemudian Yariman sadar.

****

Suatu pagi, tiga hari setelah kejadian Yariman, di atap genting rumah Mbah Sobari, sekawanan burung gereja mematuk dan menari riang. Pada saat yang hampir bersamaan, dari arah pintu depan, terdengar ucapan salam yang dibarengi dengan ketukan. Si Mbah kemudian keluar. Kata-kata si tamu bernada khawatir. Ia berkata bahwa Sutilah, perempuan yang ditinggal mati suaminya dua tahun lalu, nekat minum kecubung lantaran tak mampu bayar hutang. Perempuan itu berkeliaran di tengah pasar tanpa pakaian. Mbah Sobari menghela nafasnya dalam-dalam. Dia tahu, jika ada orang keracunan kecubung, dan kemudian orang tersebut masuk pasar, akan sukar disembuhkan. Pasti gila. Persis seperti Suratmi, anak semata wayang sendiri.

   
Bandarlampung, Oktober-November, 2010.




Comments

Popular Posts