Pertengahan Oktober

cerita purba kembali di pertengahan oktober ini.
menyembul serupa suara keras. suara yang
bertubuh tumpul, kerap membentur-benturkan
tubuhnya ke dinding kayu rumahmu:
menggegar! di pintu-pintu durjana, di lantai
yang murka, di jantung bingkai tua yang
berdarah; jantung yang dicungkil pengembara
yang siap dengan keranjang bahasanya. serta
melankolia album foto di rak-rak buku yang
menjelma jarum jahit: merekatkan ingatan yang
koyak di lumbung kepalanya yang dicabik berita
kehilangan dan kedatangan: menyatukan
bayang-bayang yang mengudar, menguap ke
langit siang dan kembali pada saat musim hujan.
langit seperti mata perempuan yang
menyaksikan sinema india yang tragis.
kesedihannya tumpah di balik jendela kamar si
pengembara: aroma tanah menguar, aroma karat
besi meyebar menjadi satu melawan wangi
kuntum-kuntum bunga, menolak kejernihan di
hidung para penghisap keheningan dari baris-
baris kesedihan langit. maka berlarilah ia
menuju jendela. memberi kesaksian pada yang
tertumpah di rumput-rumput halaman, di
sepanjang kembang pagar, di kembang merah,
kuning dan sebatang pohon cengkeh yang
ditinggal daun dan ranting. tinggal tubuh yang
kaku. seperti pedang ksatria yang tertancap
dalam dengan gagang berkerak darah.

(Palembang-Lampung, 2008)





Hening


kini kumasuki kota yang apabila siang dan malam
tetap hening. orang-orang melintas hanya diam,
namun tubuhnya bergetar dan berdarah. setiap
sapaanku mambang, seperti angin yang terlahir
kemudian menerbangkan kertas-kertas koran,
plastik-plastik bekas makanan dan puisi-puisi yang
tercecer di trotoar protokol jalan. mata mereka
menelisik sejauh aku berlalu. mulut mereka
berkatup-katup, namun tak ada kata yang meletup
dari bibirnya: mungkin persis isyarat bagi orang
tuli. mungkinkah aku tuli? sebab mobil-mobil yang
melintas dan berlalu tanpa suara. langkah tanpa
suara. burung-burung tanpa kicauan, angin tanpa
desauan, daun tak bergemerisik, beradu, tiang-tiang
listrik yang dipukul-pukul dengan kayu, anjing-
anjing juga tanpa gonggongan.


pada malam hari, kota itu hanya gemerlap lampu.
cahaya paris namun sediam kamp-kamp jerman
bagi kaum yahudi. tak ada lenguh dan keluh. yang
ada hanya tubuh peminta-minta yang menggigil
diterpa dingin. bila aku berjalan, mata mereka
menelisik kembali, mereka katakan sesuatu, tapi
kata-katanya tak sampai. mereka seperti diselimuti
air. kedap. hanya gerak bibir yang dapat kutangkap.
menebak-nebak bibirnya akan mengeluarkan huruf
apa. ketika subuh melepuh, pun begitu seterusnya.
siang dan kembali kepada malam lagi. hingga satu-
persatu orang-orang di kota ini menghilang
...................tak kembali.
mungkin mati. hanya sedikit yang bertahan di sini.
hingga membeli rumah dan merangkai taman yang
penuh dengan bunga bermekaran. musim dapat ia
beli sendiri, hingga ia abadi dalam musim itu
sendiri. ada pula yang merawat lukanya hingga
borok dan mengeluarkan nanah. apabila ia berjalan,
jalanan akan bebercak darah yang mengering,
berkerak. pernahkah kaumenyasikan dada yang
menggelembungkan nanah, siap meletup pada
cahaya terik dan sentuhan pertama.

aku sedang menyaksikannya.


(2008)

Comments

Popular Posts