cerita mini Agit Yogi Subandi
Kue Ulang Tahun dan Kematian
oleh: Agit Yoi Subandi
oleh: Agit Yoi Subandi
Dua jam sebelum kematian, lelaki tua itu sempat memungut paku-paku yang bertebaran di lantai gudang. Empat buah bingkai bergambar nenek moyang, ia kaitkan di ruang tamu: orang-orang yang pernah memberi tuhfah berupa bibit palma, patung kayu, dan jam dinding yang kini telah berkarat. Betapa tubuhnya kuyup oleh keringat.
Pada bingkai pertama ia rasakan sendi-sendinya mulai kaku. Setiap kali terdiam, ia mendengar angin di daun palma yang telah membesar. Kemudian setelah kelelahan memaku bingkai kedua, ia pun terdiam lagi, dilihatnya patung kayu terjatuh dari almari dan patah. Tapi ia tak ingin berhenti, ia ingin menyelesaikan segala sesuatunya. Mungkin dengan tunai memaku dan mengaitkan empat buah bingkai itu, ia dapat membujuk patung kayu itu dengan tenang. Tapi kulit laki-laki tua itu terus menerus mengucurkan keringat dari pori-pori yang makin melebar. Wajahnya memerah. Tubuhnya gemetaran. Ia yakin, dengan merawat benda-benda pemberian itu akan jauh dari kutukan, dan sesuatu yang telah tiada akan tetap diingatnya meski sekelebat saja.
Selesailah bingkai ke empat di kaitkan. Jam dinding berkarat itu berbunyi. Menandakan jam 12 malam. Lelaki tua itu bergegas menuju dapur untuk mengambil kue ulang tahun yang telah ia siapkan sejak jam 8 malam. Tak dihiraukannya lagi patung-patung yang telah patah. Rupanya, ia bekerja keras mengaitkan empat bingkai itu, untuk melupakan kesendiriannya. Kemudian lelaki itu menancapkan angka 63 di atas kue bolu yang hanya dilapisi mentega yang ditaburi parutan keju dan kismis warna-warni. Lalu ia nyalakan dengan gemetar. Dipandangnya nyala lilin itu.
Setelah siap, maka lelaki itu bertepuk tangan. Lamban sekali. Sambil bersenandung happy birthday dengan pengucapan lirih. Ia pun menangis. Tapi tak ada yang menenangkannya. Tak ada yang menyentuh pundaknya. Suaranya makin tak ada. Lalu ia tiup. Phuh! Dan bersandarlah ia di kursinya, perlahan-lahan dahinya berkerut. Seperti berpikir atau mungkin mengenang atau mengingat sesuatu yang tak ada. Tapi begitu lama.
Angin pada daun palma kembali lagi. Patung-patung tetap pada tempatnya. Daun jendela terbuka, tirai-tirai menggelembung dan mengempis. Pintu tak terkunci. Kue ulang tahun masih utuh. Tak ada lagu-lagu. Tapi ia tetap tenang dan terjaga dari kesunyian.
(2008)
Pada bingkai pertama ia rasakan sendi-sendinya mulai kaku. Setiap kali terdiam, ia mendengar angin di daun palma yang telah membesar. Kemudian setelah kelelahan memaku bingkai kedua, ia pun terdiam lagi, dilihatnya patung kayu terjatuh dari almari dan patah. Tapi ia tak ingin berhenti, ia ingin menyelesaikan segala sesuatunya. Mungkin dengan tunai memaku dan mengaitkan empat buah bingkai itu, ia dapat membujuk patung kayu itu dengan tenang. Tapi kulit laki-laki tua itu terus menerus mengucurkan keringat dari pori-pori yang makin melebar. Wajahnya memerah. Tubuhnya gemetaran. Ia yakin, dengan merawat benda-benda pemberian itu akan jauh dari kutukan, dan sesuatu yang telah tiada akan tetap diingatnya meski sekelebat saja.
Selesailah bingkai ke empat di kaitkan. Jam dinding berkarat itu berbunyi. Menandakan jam 12 malam. Lelaki tua itu bergegas menuju dapur untuk mengambil kue ulang tahun yang telah ia siapkan sejak jam 8 malam. Tak dihiraukannya lagi patung-patung yang telah patah. Rupanya, ia bekerja keras mengaitkan empat bingkai itu, untuk melupakan kesendiriannya. Kemudian lelaki itu menancapkan angka 63 di atas kue bolu yang hanya dilapisi mentega yang ditaburi parutan keju dan kismis warna-warni. Lalu ia nyalakan dengan gemetar. Dipandangnya nyala lilin itu.
Setelah siap, maka lelaki itu bertepuk tangan. Lamban sekali. Sambil bersenandung happy birthday dengan pengucapan lirih. Ia pun menangis. Tapi tak ada yang menenangkannya. Tak ada yang menyentuh pundaknya. Suaranya makin tak ada. Lalu ia tiup. Phuh! Dan bersandarlah ia di kursinya, perlahan-lahan dahinya berkerut. Seperti berpikir atau mungkin mengenang atau mengingat sesuatu yang tak ada. Tapi begitu lama.
Angin pada daun palma kembali lagi. Patung-patung tetap pada tempatnya. Daun jendela terbuka, tirai-tirai menggelembung dan mengempis. Pintu tak terkunci. Kue ulang tahun masih utuh. Tak ada lagu-lagu. Tapi ia tetap tenang dan terjaga dari kesunyian.
(2008)
Comments
Post a Comment