Yang tiba-tiba melesat
Di Semenanjung
arah kedatanganmu, arah kedatanganmu,
yang tak pernah kau beritahu kepadaku.
nasib berlarian, mengitari semesta.
semesta, meringkus nasib.
engkau adalah kalimat puisi yang tertinggal.
engkau adalah kesan yang tak dapat kutuliskan.
betapa cahaya terasa mengepung, melempar
tombak-tombaknya ke punggungku, ke mataku.
camar-camar memanggil dari rentangan cahaya
paruhnya mengais sejuta kengerian ikan.
“beri aku tanda, tentang arah kedatanganmu.
kutunggu! meski tanggal gugur, satu-satu.”
meski bulan-bulan akan menjadi basi
dan tahun-tahun akan membusuk di dadaku.
datanglah! datanglah! akan kumaknai penantian
sebagai kutub yang mengangan matahari.
peluh yang mengalir adalah pujian
yang tak sampai kepadamu.
gelisahku, gemetar daun-daun
dan angin yang menggerai rambutmu,
datanglah! datanglah!
bahwa kaubenar ada,
tunjukan padaku,
(2008)
Kalau Aku Harus Membisikkan
Desah Daun-Daun Kepadamu
mungkin akan kau tangisi setiap gugurannya,
seperti engkau menangisi punggung yang semakin menjauh.
betapa hujan akan menidurkanmu di ranjang-ranjang lembab,
dan menceritakan dongeng pengembara yang terjatuh
di jurang-jurang,
..............................sepanjang sungai.
(Nopember, 2008)
Buku
buku,
segumpal awan di cakrawala:
kepingan malam seseorang yang hilang.
engkaulah jiwa yang memperlihatkan
sebentuk bola kapas dari tubuhmu.
.................tubuhmu segumpal awan
yang melahirkan petir, hujan dan mungkin
.................tornado.
aku tak pernah tahu tentangmu,
bila tak bermimpi menggapai keluasan
........cakrawala,
membuatku melayang-layang
dalam ketakberhinggaan.
seperti engkau yang kerap merubah tubuhmu
pada musim-musim.
engkaulah kepingan-kepingan yang terhampar
.......bagi penafsir surga dan neraka,
pembuka jalan bagi kembara yang tengah sangsi
akan pertanyaan dalam dadanya.
........engkaulah setitik lampu
bagi manusia yang menyusuri semesta.
(2008)
arah kedatanganmu, arah kedatanganmu,
yang tak pernah kau beritahu kepadaku.
nasib berlarian, mengitari semesta.
semesta, meringkus nasib.
engkau adalah kalimat puisi yang tertinggal.
engkau adalah kesan yang tak dapat kutuliskan.
betapa cahaya terasa mengepung, melempar
tombak-tombaknya ke punggungku, ke mataku.
camar-camar memanggil dari rentangan cahaya
paruhnya mengais sejuta kengerian ikan.
“beri aku tanda, tentang arah kedatanganmu.
kutunggu! meski tanggal gugur, satu-satu.”
meski bulan-bulan akan menjadi basi
dan tahun-tahun akan membusuk di dadaku.
datanglah! datanglah! akan kumaknai penantian
sebagai kutub yang mengangan matahari.
peluh yang mengalir adalah pujian
yang tak sampai kepadamu.
gelisahku, gemetar daun-daun
dan angin yang menggerai rambutmu,
datanglah! datanglah!
bahwa kaubenar ada,
tunjukan padaku,
(2008)
Kalau Aku Harus Membisikkan
Desah Daun-Daun Kepadamu
mungkin akan kau tangisi setiap gugurannya,
seperti engkau menangisi punggung yang semakin menjauh.
betapa hujan akan menidurkanmu di ranjang-ranjang lembab,
dan menceritakan dongeng pengembara yang terjatuh
di jurang-jurang,
..............................sepanjang sungai.
(Nopember, 2008)
Buku
buku,
segumpal awan di cakrawala:
kepingan malam seseorang yang hilang.
engkaulah jiwa yang memperlihatkan
sebentuk bola kapas dari tubuhmu.
.................tubuhmu segumpal awan
yang melahirkan petir, hujan dan mungkin
.................tornado.
aku tak pernah tahu tentangmu,
bila tak bermimpi menggapai keluasan
........cakrawala,
membuatku melayang-layang
dalam ketakberhinggaan.
seperti engkau yang kerap merubah tubuhmu
pada musim-musim.
engkaulah kepingan-kepingan yang terhampar
.......bagi penafsir surga dan neraka,
pembuka jalan bagi kembara yang tengah sangsi
akan pertanyaan dalam dadanya.
........engkaulah setitik lampu
bagi manusia yang menyusuri semesta.
(2008)
Comments
Post a Comment