Sastra Sebagai Salah Satu Cermin Kebudayaan dan Perilaku Sebuah Bangsa




Oleh:
Agit Yogi Subandi

Sastra salah satu bentuk kongkrit dari zaman, ternyata tidak bisa dipisahkan begitu saja oleh alam semesta ini1. Sebuah tulisan atau manuskrip, tentu hanyalah salah satu ciri dari individu-individu, karena sebuah tulisan adalah wujud pemikiran atau pengalaman atau juga sebuah perenungan serta wujud dari hasil penyerapan panca indera dari lingkungan. Dari tulisan-tulisan tersebut, baik yang berupa sastra maupun yang non sastra, dapat dinilai peran penulis di zamannya, seberapa jauhkah ia mempergunakan zamannya untuk sesuatu yang monumental, dan seberapa jauh ia ditundukkan atau menyerahkan diri kepada zamannya2.

Waktu bagaikan ruang yang bertindak sebagai wadah bagi apa saja, dan seperti halnya karya terkadang dapat menjadi besar apabila muncul pada momen yang tepat. Waktu seperti pohon mangga yang berada di wilayah-wilayah pedesaan yang setiap penduduknya tidak pernah menuntut ia harus berbuah secara terus-menerus dan begitu pemaklumnya para penduduk, ketika melihat pohon-pohon mangga tersebut tidak berbuah pada saat musimnya. Pada musimnya, pohon mangga akan berbunga sebagai mestinya, namun prosesnya untuk menjadi buah itu yang ditentukan oleh banyak faktor. Seperti juga halnya karya-karya sastra atau hal-hal lainnya selain daripada sastra di dalam seruang waktu atau sebuah jaman. Tapi sadarkah kita sebagai sebuah bangsa, bahwa karya-karya khususnya sastra, hanya sebagai penanda yang bersifat pasif, atau kita yang membuatnya untuk menandai jaman yang sikapnya tentu lebih aktif?

Sastra sebagai salah satu cerminan kebudayaan dan prilaku sebuah bangsa, sekali lagi tidak mungkin dapat dipisahkan dari setiap individu ataupun kelompok, karena sastra juga mempunyai hal-hal yang disasar oleh kesusastraan, yaitu pemikiran dan hal-hal yang sentimental. Mengapa demikian, karena bahasa dan kasih sayang adalah bentuk, penggerak, dan akar dari segala kebaikan. Dan meminjam istilah Raja Dangdut Indonesia, “bahasa menunjukkan bangsa”.

Saya mengajukan pembahasan ini pada saat diskusi. Sebab, mengingat sebuah pepatah Yunani “Vok audita perit litera scripta” terjemahan bebasnya: suara yang terlontar akan segera hilang sedangkan sebuah tulisan akan abadi. Maka, tepatlah apabila para intelektual menulis baik yang bergerak di bidang sastra maupun yang non sastra turut mendiskusikan hal ini. kaum intelektual adalah kaum yang turut mengembangkan jaman dan karya-karyanya (apabila ia menulis) akan selalu menjadi acuan bagi generasi-generasi yang akan datang.

Demikianlah sastra di mata setiap jaman. Saya berpendapat bahwa setiap karya akan terus-menerus melahirkan inspirasi bagi makhluk hidup, dan sebuah karya akan membuktikan dirinya sendiri-sendiri kepada masyarakat pembaca, bahwa dapatkah diterima di waktu-waktu mendatang seperti halnya karya-karya sastrawan-sastrawan terdahulu, Octavio Paz, Don Pablo Neruda, Shakespeare, Plato, Imanuel Kant, dll dapat bertahan hingga sekarang ini. Bukankah karya-karya mereka adalah karya yang besar dan mempunyai nilai-nilai estetik? Karena karya yang besar dan estetik adalah karya yang dapat terus-menerus bertahan dari jaman ke jaman ketika harus menghadapi tantangan dan kontroversi.

Salam.
Catatan:
1 Dikutip dari salah satu judul Tulisan Budi Darma yang berjudul “Sastra Amerika Masa Kini”, Hal. 177, dari buku kumpulan Tulisan Menandai 70 tahun Prof. Budi Darma, Ph. D., “Bahasa, Sastra, dan Budi Darma”, JP BOOKS, Surabaya 2007.
2 Ibid.



Comments

Popular Posts