Renungan Labirin
Labirin
aku di dalam labirin yang berdinding tanaman rambat.
gemanya bagai di dalam balairung sepi. tak ada papan
penunjuk arah. dibiarkannya aku melarat menempuh
tikungan-tikungan curam dan jalan buntu tanpa bekal kompas atau
peta buta sekalipun. tak ada yang bisa dipahami dari perjalanan ini,
sebab aku tak bisa kembali ke jalan yang telah dilalui.
setiap ingin kembali, aku selalu berada di tempat lain.
setiap daun memiliki nama. salah satunya adalah namamu.
dan setiap daun berkaitan dengan daun-daun lain. mereka bersekongkol,
pura-pura acuh. dirambatkanlah batang dan daunnya
yang bernama itu ke kaki, tangan, dan lehermu. jangan katakan tidak
kepada mereka, cukup lepaskan rambatannya, maka mereka akan mengerti:
kau tak mau terikat olehnya. kau akan sering menyesuaikan tubuhmu
kepada salah satu atau beberapa dari daun itu: mengecil dan masuk
ke dalamnya. tapi jangan berlebihan menanggapi,
sebab daun itu, sesungguhnya seperti dirimu juga:
di dalam labirin dan menemui daun-daun pula.
pada saat kau menemuinya, ia adalah daun, tapi pada saat itu pula
ketika ia menemuimu, kau sebagai daun. kalian tidak saling
mengetahui, sebab kau hanya menebak dari apa yang terlihat;
daun-daun yang menunas, dinding retak, kegelapan,
bahkan daun-daun yang terlepas dari batangnya—memasuki sebuah
pintu yang tak pernah dikunci oleh siapapun dan mengakhiri
petualanganmu—semuanya seolah telah diketahui dan membuatnya
menjadi pasti. kau mulai mengasah rasa takutmu. tanpa kau ketahui,
dan betapa mengagetkan, semua peristiwa, berjalinan denganmu.
daun-daun itulah yang perlahan menghantar dan
memperkenalkanmu kepada daun-daun lain. kau tinggal memilih,
masuk ke dalam atau berdiri memandang kemudian pergi,
memastikan yang belum pasti di bawah terik matahari dan memastikan
bentuk benda-benda di bawah redup cahaya bulan juga bintang-bintang.
dan kejujuran, adalah milik kematian. batu-batu, benda-benda
di sekelilingmu, bahkan tubuhmu berpijaran dan pijaran itu
kemudian meninggalkan semuanya menuju angkasa, menembus atmosfer
bagai bola-bola cahaya yang kemudian pecah menjadi jutaan keping.
di dalam labirin ini, aku seperti pencari. pencari pintu keluarku sendiri.
tapi sesungguhnya aku mencarikan pintu keluarmu, dan
kau mencarikan pintu keluarku.
suatu ketika, kususuri pasir-pasir coklat muda yang ditumbuhi rumput.
kudegar rintihan dari balik puing. ada wewangian yang perlahan
menghisap tubuhku ke dalam pusaran di daun-daun
yang memiliki ruang lain lagi, labirin yang lain:
cahaya kelam, dinding yang lebih puing, tumbuhan rambat
yang lebih rambat, bahkan rintih yang lebih rintih lagi, ada di dalamnya.
dan tumbuhan itu melenguh bagai nafas harimau terluka.
aku mulai merapuh dalam cahaya itu. berahi-berahi mulai menyusun
dirinya di dadaku. menarik lagi musim yang telah menghilang
di bilik jantungku, hingga mengeram, kemudian memecutkan tangannnya
yang seperti ranting kering dan melukai lagi dinding di bilik jantungku.
rongga dadaku digenangi darah yang menghitam.
kebencian-kebencian mengkristal di dalamnya, berhamburan,
berterbangan, dan masuk lagi ke dalam daging, resap
ke dalam pembuluh darah seraya mengintai lubang-lubang
di tubuhku. mereka berpesta dalam kejemuan, dalam dahaga
yang mendorong perkiraan dan dugaanku terhadap ruang.
kemudian kristal-kristal itu meleleh, keluar lewat lubang hidungku.
seketika semuanya menjadi bersih. tak bersudut
dengan sebentang kabut di kejauhan dan dibayang-banyangi
pohon-pohon hitam samar.
aku seperti tengah kembali pada permulaan:
bukan menjadi anak kecil, tapi aku kembali bisa melihat; pohon-pohon
melambai-lambai, rumput, langit biru, serangga-serangga berterbangan
mengitari setiap tumbuhan; seperti di dalam akuarium jernih
yang ditunggangi tebaran dari segaris cahaya lampu neon warna-warni.
ketika gelap, hanya ada cahaya samar di belakang kabut itu.
pohon-pohon bersiluet, dan cahaya kunang-kunang bertebaran bagai
punggung langit malam. saat aku melangkah, semuanya
menjadi putih. seputih pijaran pada benda-benda dan tubuhmu yang kemudian
meluncur dan lesap ke langit kemudian pecah. dinding-dinding
muncul inci demi inci.
kini, aku berada di labirin yang lain lagi. jalan samar: seperti bayang-bayang.
tapi adakah yang kokoh bertahan pada jalannya sendiri.
sekalipun jalan yang ditempuhnya tampak lurus atau basah
meski daun-daun tanaman itu, jatuh di jalan yang sedang di tempuh.
(Tanjungkarang, Juli, 2009)
aku di dalam labirin yang berdinding tanaman rambat.
gemanya bagai di dalam balairung sepi. tak ada papan
penunjuk arah. dibiarkannya aku melarat menempuh
tikungan-tikungan curam dan jalan buntu tanpa bekal kompas atau
peta buta sekalipun. tak ada yang bisa dipahami dari perjalanan ini,
sebab aku tak bisa kembali ke jalan yang telah dilalui.
setiap ingin kembali, aku selalu berada di tempat lain.
setiap daun memiliki nama. salah satunya adalah namamu.
dan setiap daun berkaitan dengan daun-daun lain. mereka bersekongkol,
pura-pura acuh. dirambatkanlah batang dan daunnya
yang bernama itu ke kaki, tangan, dan lehermu. jangan katakan tidak
kepada mereka, cukup lepaskan rambatannya, maka mereka akan mengerti:
kau tak mau terikat olehnya. kau akan sering menyesuaikan tubuhmu
kepada salah satu atau beberapa dari daun itu: mengecil dan masuk
ke dalamnya. tapi jangan berlebihan menanggapi,
sebab daun itu, sesungguhnya seperti dirimu juga:
di dalam labirin dan menemui daun-daun pula.
pada saat kau menemuinya, ia adalah daun, tapi pada saat itu pula
ketika ia menemuimu, kau sebagai daun. kalian tidak saling
mengetahui, sebab kau hanya menebak dari apa yang terlihat;
daun-daun yang menunas, dinding retak, kegelapan,
bahkan daun-daun yang terlepas dari batangnya—memasuki sebuah
pintu yang tak pernah dikunci oleh siapapun dan mengakhiri
petualanganmu—semuanya seolah telah diketahui dan membuatnya
menjadi pasti. kau mulai mengasah rasa takutmu. tanpa kau ketahui,
dan betapa mengagetkan, semua peristiwa, berjalinan denganmu.
daun-daun itulah yang perlahan menghantar dan
memperkenalkanmu kepada daun-daun lain. kau tinggal memilih,
masuk ke dalam atau berdiri memandang kemudian pergi,
memastikan yang belum pasti di bawah terik matahari dan memastikan
bentuk benda-benda di bawah redup cahaya bulan juga bintang-bintang.
dan kejujuran, adalah milik kematian. batu-batu, benda-benda
di sekelilingmu, bahkan tubuhmu berpijaran dan pijaran itu
kemudian meninggalkan semuanya menuju angkasa, menembus atmosfer
bagai bola-bola cahaya yang kemudian pecah menjadi jutaan keping.
di dalam labirin ini, aku seperti pencari. pencari pintu keluarku sendiri.
tapi sesungguhnya aku mencarikan pintu keluarmu, dan
kau mencarikan pintu keluarku.
suatu ketika, kususuri pasir-pasir coklat muda yang ditumbuhi rumput.
kudegar rintihan dari balik puing. ada wewangian yang perlahan
menghisap tubuhku ke dalam pusaran di daun-daun
yang memiliki ruang lain lagi, labirin yang lain:
cahaya kelam, dinding yang lebih puing, tumbuhan rambat
yang lebih rambat, bahkan rintih yang lebih rintih lagi, ada di dalamnya.
dan tumbuhan itu melenguh bagai nafas harimau terluka.
aku mulai merapuh dalam cahaya itu. berahi-berahi mulai menyusun
dirinya di dadaku. menarik lagi musim yang telah menghilang
di bilik jantungku, hingga mengeram, kemudian memecutkan tangannnya
yang seperti ranting kering dan melukai lagi dinding di bilik jantungku.
rongga dadaku digenangi darah yang menghitam.
kebencian-kebencian mengkristal di dalamnya, berhamburan,
berterbangan, dan masuk lagi ke dalam daging, resap
ke dalam pembuluh darah seraya mengintai lubang-lubang
di tubuhku. mereka berpesta dalam kejemuan, dalam dahaga
yang mendorong perkiraan dan dugaanku terhadap ruang.
kemudian kristal-kristal itu meleleh, keluar lewat lubang hidungku.
seketika semuanya menjadi bersih. tak bersudut
dengan sebentang kabut di kejauhan dan dibayang-banyangi
pohon-pohon hitam samar.
aku seperti tengah kembali pada permulaan:
bukan menjadi anak kecil, tapi aku kembali bisa melihat; pohon-pohon
melambai-lambai, rumput, langit biru, serangga-serangga berterbangan
mengitari setiap tumbuhan; seperti di dalam akuarium jernih
yang ditunggangi tebaran dari segaris cahaya lampu neon warna-warni.
ketika gelap, hanya ada cahaya samar di belakang kabut itu.
pohon-pohon bersiluet, dan cahaya kunang-kunang bertebaran bagai
punggung langit malam. saat aku melangkah, semuanya
menjadi putih. seputih pijaran pada benda-benda dan tubuhmu yang kemudian
meluncur dan lesap ke langit kemudian pecah. dinding-dinding
muncul inci demi inci.
kini, aku berada di labirin yang lain lagi. jalan samar: seperti bayang-bayang.
tapi adakah yang kokoh bertahan pada jalannya sendiri.
sekalipun jalan yang ditempuhnya tampak lurus atau basah
meski daun-daun tanaman itu, jatuh di jalan yang sedang di tempuh.
(Tanjungkarang, Juli, 2009)
Comments
Post a Comment