Bersekutu dengan Cerutu
"Kepada Perempuan Tua!
Aku menulis ini di perbatasan Kuba yang terbakar. Aku hidup dan haus darah. Kau mungkin mengatakan aku benar-benar seorang tentara karena rongsokan jadi meja tulisku, bedil tersandang di pundakku, dan sebuah barang baru --sebatang cerutu-- terselip di antara gigiku."
Surat itu ditulis Che Guevara kepada temannya, Hilda, ketika pemberontakan Kuba berkecamuk. Dokter dari Argentina itu berubah di sana. Ia menjadi gerilyawan, ia juga jadi merokok cerutu. Mungkin saat perang berkecamuk itulah untuk pertama kalinya Che menghisap cerutu. Setelah itu, ia tak mau melepaskannya. Sekali membakar cerutu, Che tak membuangnya hingga tangannya terbakar. Ketika dokter membatasi satu cerutu per hari, ia minta pabrik cerutu di Havana membuatkan cerutu berukuran dua kali lebih besar dari ukurang normal.
Che menghisap cerutu mungkin karena kebetulan ia ada di Kuba, bukan karena ada hubungannya dengan revolusi. Tapi siapa peduli? Poster Che menghisap cerutu tak dipasang untuk mempromosikan cerutu, tapi dipasang untuk semangat revolusi. Poster Che tak lengkap jika tanpa cerutu. Cerutu sudah menjadi ikon diri dan perjuangannnya selain baret komando, jenggot dan tatapan mata yang tajam. Baru pada 1990-an foto Che menghisap cerutu dipakai untuk iklan cerutu.
Yang menarik adalah alasan Che yang sebelumnya memakai cangklong itu untuk menghisap cerutu. Ia mulai menghisapnya karena orang-orang Kuba menganggap pipa tembakau terlalu gringo, mirip orang asing. Ia menghisap cerutu karena ingin bersosialisasi lebih jauh dengan masyarakat Kuba.
Meski sedikit berbeda, namun apa yang terjadi di Jakarta belakangan ini juga hampir sama. Cerutu tidak hanya dinikmati karena rasanya yang murni tembakau, tapi juga karena ia adalah alat untuk bersosialisasi di kelas tertentu.
Hal inilah yang akan kita jumpai di klub atau lounge yang menyediakan cerutu. "Tamu kami biasanya datang berombongan, mereka bersantai menikmati cerutu sambil membicarakan banyak hal," kata Yadie Dayana, manajer operasional Club Macanudo yang merupakan importir cerutu terbesar di Indonesia. Selain mengimpor cerutu perusahaannya juga membuka sejumlah klub untuk para penikmat cerutu.
Tentu hal ini belum lama. "Cerutu baru bisa untuk kegiatan sosialisasi sejak 1995 ke atas, karena baru saat itulah orang banyak menghisap cerutu," kata Emir Moeis, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menghisap cerutu sejak 1987. "Bahkan baru ramai setelah reformasi."
Hal itu memungkinkan memang karena belakangan ini semakin banyak orang Indonesia yang menghisap cerutu. Penggemarnya kini juga bukan cuma orang tua saja, tapi juga mulai merambah ke usia yang lebih muda, mulai 25 tahun ke atas. Yang muda memang tidak sefanatik orangtua. Penghisap cerutu muda biasanya belum memiliki koleksi dan menghisap cerutu sesekali. Adapun sehari-harinya mereka masih setia dengan rokok. Penghisapnyapun tidak melulu orang bule. "Dulu memang pasar kami 75 persen ekspatriat, tapi kini, sejak bom Bali, 50-50 persen dengan orang pribumi," kata
Ramainya orang menghisap cerutu itu bisa dikaitkan dengan semakin banyaknya cerutu yang masuk dan bisa diperoleh dengan mudah. Orang tak perlu lagi membeli cerutu dalam jumlah besar (lebih dari satu batang) dan menyimpannya dalam ruangan khusus. Kini orang dapat pergi ke klub, lounge atau restoran dan membeli sebatang cerutu sambil menikmatinya di sana. Sebuah klub cerutu biasanya terdiri dari sebuah bar yang menyediakan berbagai minuman, tempat penyimanan cerutu yang bertemperatur dan berkelembapan tetap, serta lounge dengan sejumlah sofa empuk yang amat nyaman untuk bersantai.
Klub itu ada juga karena cerutu berbeda dengan rokok yang bisa dihisap kapan saja. Sebatang cerutu adalah sebuah apressiasi terhadap diri penghisapnya. Orang menghisap biasanya untuk bersantai atau untuk merayakan suatu keberhasilan. Karenanya mereka membutuhkan suasana yang khusus. "Kami bahkan harus menempatkan sofa dari kulit asli untuk mendukung suasana santai," kata Yadie.
Sambil menikmati cerutu, para pecandu cerutu ini biasanya minum cognac atau anggur. Saat menghisap cerutu yang bisa memakan waktu dua jam dipakai untuk mengobrol. Tapi tidak semuanya demikian. Ada juga yang ingin menikmati waktu sendiri sambil memandangi cerutu kesayangannya. "Paling enak dalam keadaan tenang, malam dan tak ada kegiatan apa-apa," kata Moeis.
Tak semua orang suka menikmati cerutu di klub. "Kalau di klub malah gak santai. Padahal menghisap cerutu itu butuh privasi yang tinggi, misalnya kalau saya, pakai sarung dan minum kopi. Nggak mungkin kan di klub saya pakai sarung?" kata Moeis yang sebelum kenal cerutu tidak merokok.
Klub bukan satu-satunya cara untuk menjadikan cerutu sebagai alat pergaulan. Meski jarang menghisap cerutu di klub, Moeis mengaku sering bertukar koleksi cerutu dengan rekan-rekan bisnisnya. Cerutu juga sering ia berikan atau ia dapatkan sebagai hadiah. Bahkan ada satu jenis cerutu yang diciptakan untuk dihadiahkan, namanya culebras. Ini adalah tiga cerutu panjang yang dikelabang menjadi satu. Untuk menghisapnya memang harus diurai, tapi biasanya culebras cuma disimpan.
Mau ke klub atau tidak, itu memang urusan Anda, tapi cerutu sebagai alat bisnis sudah tak dapat dihindari lagi. "Cerutu bukan masalah klub. Tapi cerutu juga tidak dihisap saat bekerja atau bermain. Cerutu adalah bisnis," kata sastrawan Kuba, Guillermo Cabrera Infante. qaris tajudin
Tak Ada Cerutu Buruk
Orang Katalonia bilang: "Qui te duros, fuma puros. I qui no en te, fuma paper." Yang punya duit menghisap cerutu, yang tak punya menghisap kertas (rokok). "Tidak juga," kata Yadie. "Kami menyediakan 120 jenis cerutu yang harganya mulai Rp 10 ribu sampai Rp 370 ribu. Tinggal pilih yang mana." Dan harga yang bervariasi itu belum tentu menggambarkan kualitasnya. "Tak ada cerutu yang buruk, yang ada penghisap yang buruk," kata H.L. Mencken.
Pilihan cerutu ditentukan oleh banyak hal. Bagi pemula, meski punya fulus, tak usah memaksakan cerutu Cuba seperti Cohiba --cerutu Castro-- yang selain berkualitas dan mahal, juga amat keras. Pemula biasanya menghisap cerutu Karibia yang tanahnya memang tidak mengandung banyak mineral seperti Kuba. Waktu juga amat menentukan. "Kalau cuma punya waktu 15 menit, lebih baik menghisap yang kecil. Sayang kalau memilih yang besar tapi tidak dihabiskan," kata Yadie lagi.
Karena itu Moeis juga punya pilihannya sendiri. "Bagi saya, cerutu yang enak sangat ditentukan oleh ukurannya. Makin besar makin enak. Meski mereknya Cohiba atau Davidoff, kalo kecil ya bagi saya gak enak," kata anggota Komisi VIII DPR ini. "Selain itu, penampilan juga menentukan. Sekarang kan lagi ngetren yang warna muda. Saya suka yang warnanya muda, karena terkesan lebih ringan. Sebenarnya tidak juga."
Selain itu, karena tak ada cerutu yang buruk, maka pilihan kemudian jadi bersifat pribadi. Artinya, orang memilih suatu merek dan jenis tertentu karena selera yang amat pribadi, yang amat subyektif. "Pilihan cerutu amat personal dan tidak dapat dipertanyakan," kata Yadie. Ketika Che memutuskan untuk menghisap Cazadores, itu juga karena alasan pribadi: ia tak ingin cerutu mahal. sq
Sumber lihat di sini.
Aku menulis ini di perbatasan Kuba yang terbakar. Aku hidup dan haus darah. Kau mungkin mengatakan aku benar-benar seorang tentara karena rongsokan jadi meja tulisku, bedil tersandang di pundakku, dan sebuah barang baru --sebatang cerutu-- terselip di antara gigiku."
Surat itu ditulis Che Guevara kepada temannya, Hilda, ketika pemberontakan Kuba berkecamuk. Dokter dari Argentina itu berubah di sana. Ia menjadi gerilyawan, ia juga jadi merokok cerutu. Mungkin saat perang berkecamuk itulah untuk pertama kalinya Che menghisap cerutu. Setelah itu, ia tak mau melepaskannya. Sekali membakar cerutu, Che tak membuangnya hingga tangannya terbakar. Ketika dokter membatasi satu cerutu per hari, ia minta pabrik cerutu di Havana membuatkan cerutu berukuran dua kali lebih besar dari ukurang normal.
Che menghisap cerutu mungkin karena kebetulan ia ada di Kuba, bukan karena ada hubungannya dengan revolusi. Tapi siapa peduli? Poster Che menghisap cerutu tak dipasang untuk mempromosikan cerutu, tapi dipasang untuk semangat revolusi. Poster Che tak lengkap jika tanpa cerutu. Cerutu sudah menjadi ikon diri dan perjuangannnya selain baret komando, jenggot dan tatapan mata yang tajam. Baru pada 1990-an foto Che menghisap cerutu dipakai untuk iklan cerutu.
Yang menarik adalah alasan Che yang sebelumnya memakai cangklong itu untuk menghisap cerutu. Ia mulai menghisapnya karena orang-orang Kuba menganggap pipa tembakau terlalu gringo, mirip orang asing. Ia menghisap cerutu karena ingin bersosialisasi lebih jauh dengan masyarakat Kuba.
Meski sedikit berbeda, namun apa yang terjadi di Jakarta belakangan ini juga hampir sama. Cerutu tidak hanya dinikmati karena rasanya yang murni tembakau, tapi juga karena ia adalah alat untuk bersosialisasi di kelas tertentu.
Hal inilah yang akan kita jumpai di klub atau lounge yang menyediakan cerutu. "Tamu kami biasanya datang berombongan, mereka bersantai menikmati cerutu sambil membicarakan banyak hal," kata Yadie Dayana, manajer operasional Club Macanudo yang merupakan importir cerutu terbesar di Indonesia. Selain mengimpor cerutu perusahaannya juga membuka sejumlah klub untuk para penikmat cerutu.
Tentu hal ini belum lama. "Cerutu baru bisa untuk kegiatan sosialisasi sejak 1995 ke atas, karena baru saat itulah orang banyak menghisap cerutu," kata Emir Moeis, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menghisap cerutu sejak 1987. "Bahkan baru ramai setelah reformasi."
Hal itu memungkinkan memang karena belakangan ini semakin banyak orang Indonesia yang menghisap cerutu. Penggemarnya kini juga bukan cuma orang tua saja, tapi juga mulai merambah ke usia yang lebih muda, mulai 25 tahun ke atas. Yang muda memang tidak sefanatik orangtua. Penghisap cerutu muda biasanya belum memiliki koleksi dan menghisap cerutu sesekali. Adapun sehari-harinya mereka masih setia dengan rokok. Penghisapnyapun tidak melulu orang bule. "Dulu memang pasar kami 75 persen ekspatriat, tapi kini, sejak bom Bali, 50-50 persen dengan orang pribumi," kata
Ramainya orang menghisap cerutu itu bisa dikaitkan dengan semakin banyaknya cerutu yang masuk dan bisa diperoleh dengan mudah. Orang tak perlu lagi membeli cerutu dalam jumlah besar (lebih dari satu batang) dan menyimpannya dalam ruangan khusus. Kini orang dapat pergi ke klub, lounge atau restoran dan membeli sebatang cerutu sambil menikmatinya di sana. Sebuah klub cerutu biasanya terdiri dari sebuah bar yang menyediakan berbagai minuman, tempat penyimanan cerutu yang bertemperatur dan berkelembapan tetap, serta lounge dengan sejumlah sofa empuk yang amat nyaman untuk bersantai.
Klub itu ada juga karena cerutu berbeda dengan rokok yang bisa dihisap kapan saja. Sebatang cerutu adalah sebuah apressiasi terhadap diri penghisapnya. Orang menghisap biasanya untuk bersantai atau untuk merayakan suatu keberhasilan. Karenanya mereka membutuhkan suasana yang khusus. "Kami bahkan harus menempatkan sofa dari kulit asli untuk mendukung suasana santai," kata Yadie.
Sambil menikmati cerutu, para pecandu cerutu ini biasanya minum cognac atau anggur. Saat menghisap cerutu yang bisa memakan waktu dua jam dipakai untuk mengobrol. Tapi tidak semuanya demikian. Ada juga yang ingin menikmati waktu sendiri sambil memandangi cerutu kesayangannya. "Paling enak dalam keadaan tenang, malam dan tak ada kegiatan apa-apa," kata Moeis.
Tak semua orang suka menikmati cerutu di klub. "Kalau di klub malah gak santai. Padahal menghisap cerutu itu butuh privasi yang tinggi, misalnya kalau saya, pakai sarung dan minum kopi. Nggak mungkin kan di klub saya pakai sarung?" kata Moeis yang sebelum kenal cerutu tidak merokok.
Klub bukan satu-satunya cara untuk menjadikan cerutu sebagai alat pergaulan. Meski jarang menghisap cerutu di klub, Moeis mengaku sering bertukar koleksi cerutu dengan rekan-rekan bisnisnya. Cerutu juga sering ia berikan atau ia dapatkan sebagai hadiah. Bahkan ada satu jenis cerutu yang diciptakan untuk dihadiahkan, namanya culebras. Ini adalah tiga cerutu panjang yang dikelabang menjadi satu. Untuk menghisapnya memang harus diurai, tapi biasanya culebras cuma disimpan.
Mau ke klub atau tidak, itu memang urusan Anda, tapi cerutu sebagai alat bisnis sudah tak dapat dihindari lagi. "Cerutu bukan masalah klub. Tapi cerutu juga tidak dihisap saat bekerja atau bermain. Cerutu adalah bisnis," kata sastrawan Kuba, Guillermo Cabrera Infante. qaris tajudin
Tak Ada Cerutu Buruk
Orang Katalonia bilang: "Qui te duros, fuma puros. I qui no en te, fuma paper." Yang punya duit menghisap cerutu, yang tak punya menghisap kertas (rokok). "Tidak juga," kata Yadie. "Kami menyediakan 120 jenis cerutu yang harganya mulai Rp 10 ribu sampai Rp 370 ribu. Tinggal pilih yang mana." Dan harga yang bervariasi itu belum tentu menggambarkan kualitasnya. "Tak ada cerutu yang buruk, yang ada penghisap yang buruk," kata H.L. Mencken.
Pilihan cerutu ditentukan oleh banyak hal. Bagi pemula, meski punya fulus, tak usah memaksakan cerutu Cuba seperti Cohiba --cerutu Castro-- yang selain berkualitas dan mahal, juga amat keras. Pemula biasanya menghisap cerutu Karibia yang tanahnya memang tidak mengandung banyak mineral seperti Kuba. Waktu juga amat menentukan. "Kalau cuma punya waktu 15 menit, lebih baik menghisap yang kecil. Sayang kalau memilih yang besar tapi tidak dihabiskan," kata Yadie lagi.
Karena itu Moeis juga punya pilihannya sendiri. "Bagi saya, cerutu yang enak sangat ditentukan oleh ukurannya. Makin besar makin enak. Meski mereknya Cohiba atau Davidoff, kalo kecil ya bagi saya gak enak," kata anggota Komisi VIII DPR ini. "Selain itu, penampilan juga menentukan. Sekarang kan lagi ngetren yang warna muda. Saya suka yang warnanya muda, karena terkesan lebih ringan. Sebenarnya tidak juga."
Selain itu, karena tak ada cerutu yang buruk, maka pilihan kemudian jadi bersifat pribadi. Artinya, orang memilih suatu merek dan jenis tertentu karena selera yang amat pribadi, yang amat subyektif. "Pilihan cerutu amat personal dan tidak dapat dipertanyakan," kata Yadie. Ketika Che memutuskan untuk menghisap Cazadores, itu juga karena alasan pribadi: ia tak ingin cerutu mahal. sq
Sumber lihat di sini.
Comments
Post a Comment