RASA AMAN? ENTAH KAPAN…
Oleh:
Agit Yogi Subandi
Pulang kampung telah menjadi tradisi bagi perantau-perantau yang sedang ingin merubah nasibnya. Kampung secara psikologis adalah sebuah tempat untuk menjadi apa adanya, seperti di rumah sendiri dalam versi yang lebih kecil lagi. Di kampung kita mengenal satu sama lain, tempat kita merasa ‘ada’ dan eksis sebagai seorang manusia atau penduduk.
Tetapi menjadi lain lagi ketika seseorang pulang ke kotabumi. Rasa aman itu, seperti main kucing-kucingan dan akhirnya ruang gerak menjadi terbatas dan sempit. Hal ini disebabkan oleh adanya fenomena begal yang sedang merajalela. Bahkan di waktu siang, mereka pun beroperasi. Tidak tanggung-tanggung, mereka beroperasi di sekitar stadion sukung yang notabene adalah sebuah fasilitas umum untuk berolah raga atau sekadar menikmati suasana sore yang lapang. Kemudian di jalan-jalan desa yang panjang dan sepi, hanya ada pepohonan sawit yang daun-daunnya menghiasi jalan.
Belum lagi persoalan maling di tempat yang selalu membuat warga khawatir di mana tempat parkir yang aman. Bagaimana tidak, di depan rumah saja, dalam waktu lima menit, motor bisa raib. Dari cerita itu semua, yang menjadi korban adalah warga asli lampung dan bukan warga suku lampung tetapi sudah menetap bertahun-tahun bahkan lahir di situ. Ini berarti, semua warga saling mengenal, paling tidak, mengenal wajah.
Semua cerita itu saya dari percakapan saya dengan para pemuda-pemuda setempat, di sebuah malam di beranda yang sedang mati lampu, sambil menikmati secangkir kopi dan makanan ringan seadanya. Lantas saya berpikir setelah mereka semua pulang, kemudian bertanya kepada diri saya sendiri “mengapa mereka melakukan hal itu? Siapakah mereka? Hingga tidak pilih-pilih sasaran lagi? Tetapi mereka, kesadaran untuk merampas, tentu juga disebabkan oleh sesuatu atau terpengaruh dari sesuatu.”
Kasus begal yang terjadi selama ini di Lampung utara adalah sebuah fenomena yang sepertinya sulit untuk diberantas. Lihat saja berita Lampung Post, berita kriminal mengenai begal sepeda motor, Selasa 2 April 2013, halaman 6, adalah kejadian yang kesekian kali dari ratusan pembegalan di Lampung Utara. Usaha patroli dari pihak kepolisian yang bekerja sama dengan pihak Kodim 0412, juga sudah dilakukan. Tapi mengapa tidak juga membuat nyali para pembegal itu menjadi surut?
Menurut fenomenologi Martin Heidegger, kesadaran (keadaan mengerti) atau intensionalitas (niat) itu bersifat timbal balik. Kita tidak sekedar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita (F. Budi Hardiman, 2003: 29). Jika merujuk kepada ‘Bang Napi’ maka akan ditambahkan dengan ‘kesempatan’, tetapi kesempatan sulit untuk diduga kapan datangnya, sehingga kesempatan kita anggap sebagai hadiah dari kehidupan.
Penjelasan untuk teori Heidegger itu adalah, manusia adalah subjek dan benda-benda adalah objek, dan seandainya kita balik, benda-benda adalah subjek dan manusia adalah objeknya, jadi kesadaran manusia itu mengarah kepada benda dan benda-benda itu juga yang membentuk kesadarannya. Jika manusia menginginkan sesuatu, maka sesuatu itu sesungguhnya telah lebih dulu membentuk kesadarannya, maka muncul rasa ingin memiliki dari si subjek. Pertanyaannya mengapa manusia? Mengapa tidak hewan, mengapa tidak tumbuhan? Menurut Heidegger lagi, hanya manusialah yang bisa bertanya tentang keberadaannya.
Apa yang dimaksud Heidegger dengan kesadaran? Kesadaran menurutnya tidak murni. Kesadaran selalu dikaitkan ‘sebagai sesuatu’, maka kesadaran akan tampil sebagai bentuk suasana hati tertentu. tetapi juga, dalam penjelasan F. Budi Hardiman, kesadaran jangan dilihat sebagai perolehan hubungan dominasi subjek atas objek, dan kesadaran itu itu dapat diraih dengan cara membuka diri terhadap ‘ada’.
Sukanto Reksodiprojo (1986: 176), “Komunikasi adalah usaha mendorong orang lain untuk menginterprestasikan pendapat seperti apa yang dikehendaki oleh orang yang mempunyai pendapat tersebut serta diharapkan diperoleh titik kesamaan untuk pengertian.” Dengan demikian akan didapat umpan balik yang disebut Intensi.
Televisi atau alat komunikasi masa apa saja, adalah sebuah alat untuk menyampaikan pesan apa saja kepada khalayak yang ramai. Namun dalam proses interpretasinya, penerimaan setiap manusia berbeda-beda, bergantung kepada pengalaman pribadi, spiritual, serapan informasi, pendidikan, akan mempengaruhi interpretasi dari komunikasi tersebut. Misalkan ide dari pesan itu adalah “bekerja untuk menjadi kaya” maka sekian banyak interpretasi dari penonton akan bekerja, dan sekian banyak kesimpulan akan menjadi pegangan bagi setiap individu. Sampai sini, coba bayangkan jika pesan itu tidak ada? Tentu tidak ada intensi terhadap pesan itu atau interpretasi lebih lanjut mengenai hal itu.
Jika pengertian bekerja di dalam masyarakat tersebut adalah menjadi pegawai di sebuah instansi negeri atau swasta, maka pesan tersebut akan dikaitkan pula dengan pengertian itu. Namun berbeda lagi dengan seseorang yang sudah menjadi apa yang dimaksud dengan yang belum masuk ke dalam dunia kerja dalam pengertian masyarakat tersebut. Orang yang belum bekerja akan menganggap itu adalah sesuatu yang tidak adil dan membuat ia merasa didiskriminasikan oleh masyarakat yang sudah bekerja. Dari situ, akan muncul komunikasi interpersonal terhadap orang yang belum bekerja itu. Nah, di sinilah muncul sebuah kesimpulan yang baru lagi. Kesimpulan yang baru itulah yang akan mempengaruhi intensi orang tersebut. Kesadarannya terhadap sesuatu menjadi aktif, dan kemudian muncul rasa cemas terhadap dirinya, masa depannya dan kehidupannya.
Inilah yang disebut Heidegger, bahwa intensional dan kesadaran itu tidak hanya mengarah kepada sesuatu, melainkan sesuatu itu membentuk kesadaran dan intensional. Dan intensi ini akan muncul ketika seseorang menanyakan ‘ada’ dirinya di sebuah ruangan itu. Ruangan bisa menjadi sebuah tempat: rumah ini, RT ini, RW ini, Kelurahan ini, desa ini, kota ini, kabupaten ini dan lain sebagainya. Sampai ini gerbang positif dan negatif sedang terbuka lebar. Tetapi pemilihan gerbang mana yang akan dimasuki oleh orang itu, sedang berdialektika sesuai dengan pengalaman semasa hidupnya lagi.
Berarti jika merujuk pada kedua teori tersebut, keberadaan dan komunikasi menjadi penting di dalam raungan yang ia tempati. Hubungan keduanya inilah yang disebut oleh Heidegger sebagai jemeinigkeit, dari kata je meines (bahasa Jerman) yang artinya ‘dalam setiap hal yang khas millikku’. Hal ini berarti eksistensi, dan manusia berusaha mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya untuk ‘ada’-nya sendiri.
Manusia dalam mencari kemungkinannya, ia akan memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya, yang bisa ia manfaatkan sebagai alat untuk keberadaannya. Jika sebuah sebutan ‘pegawai’ telah dapat membuatnya berada dan diterima di dalam masyarakat, maka ia akan mencari kemungkinan yang sama untuk menyetarakan dirinya dengan sebutan itu dengan cara-cara tertentu.
Budaya konsumtif dan tidak memproduksi barang kebutuhan, telah membuat kita hanya mampu membeli dan tidak bisa membuat. Barang-barang seperti motor dan mobil adalah impor yang telah menguasai pasar di berbagai kalangan masyarakat Indonesia. Keberadaan dua benda inilah yang memungkinkan benda-benda ini dijual dengan harga yang cukup bisa meng-cover biaya kehidupan sehari-hari. Pembelian benda ini sulit sekali dijangkau oleh orang-orang yang tidak berpenghasilan 5-10 juta per bulan. Tapi peredarannya sudah cukup banyak di setiap wilayah. Maka setiap perusahaan berpikir bagaimana agar barang ini menyentuh seluruh lapisan masyarakat hingga di wilayah yang terpencil sekalipun. Perusahaan pembiyaan menggagas sebuah solusi yaitu kredit kendaraan dengan uang muka yang cukup murah, minimal 500 ribu—1 juta ke atas.
Efek dari pembiyaan ini cukup besar, sebab peminatnya banyak, hingga membuat jalan raya menjadi macet dan polusi. Semua orang tiba-tiba menggantungkan dirinya kepada kendaraan ini. Keinginan untuk memiliki barang dengan harga yang murah itu, telah menjadi sasaran empuk bagi masyarakat. Barang berupa kendaraan motor, telah menjadi barang yang umum dan bisa dijangkau, sementara mobil masih berada tetap di kelasnya yang khusus.
Lantas orang-orang yang didiskriminasikan oleh kelompok sosialnya mencari kelompok-kelompok atau berjuang sendiri untuk masuk kembali ke dalam kelompok sosial itu dengan lambang-lambang atau simbol-simbil tertentu yang memungkinkan ia masuk kembali ke dalam kelompok. benda-benda masuk juga di dalam komunikasi non-verbal. Ini tidak bisa ditolak oleh orang-orang tersebut, ini adalah semacam rule of game jika ingin masuk ke dalamnya. meskipun aturan main tersebut ditetapkan secara tidak langsung. Bagaimana tanggapan kita jika seseorang mempunyai sebuah kendaraan motor atau mobil? Bagaimana mungkin kita tidak turut serta di dalam kelompok yang budaya konsumtifnya sangat kuat sementara kita tidak mempunyai alat untuk turut di dalamnya? alat tersebut dapat dikatakan alat tukar atau disebut juga uang.
Menurut persepsi saya, salah satu penyebab dari fenomenologi tersebut, bisa jadi salah satunya adalah hal itu, selain dari pada dua yang disebut teori kriminologi: lingkungan dan keturunan. Membahas keturunan membutuhkan tinjauan lebih lanjut lagi, karena itu adalah hal yang lain lagi.
jadi saran saya sebaiknya, untuk tujuan membuat masyarakat yang tertib dan baik, adalah membentuk individual-individual yang mumpuni secara ‘idea’. Mengapa individual? Karena masyarakat itu terdiri dari individual-individual. Dengan adanya penyuluhan dari pihak kampus ke desa-desa sebagai pembekalan yang sifatnya idea, sangat diperlukan. Selain itu, keseimbangan antara budaya konsumtif dan budaya kreatif perlu menjadi perhatian dari pemerintah, politikus dan juga perusahaan-perusahaan sebagai kaum pemilik modal, dan ini memang akan berpengaruh kepada modal, tetapi jika tujuannya membentuk masyarakat yang tentram, mengapa tidak?
Mudah-mudahan rasa aman, akan singgah di tempat bermukim kita.
Comments
Post a Comment