Kepada Lina
Sajak Agit Yogi Subandi
Kepada Lina
/1/
di luar jendela, cahaya rebah di aspal hitam. pohon
dan daun-daun berbayang. kemudian cuaca,
peristiwa dan kamu menjelma anak-anak yang riang
menari.
ya, Lin, jendela ini sering menghantar aku
kepadamu, meski kamu hanya bayang: berlesatan
menggodaku untuk menjumpaimu.
maka kutulislah sajak untukmu: tentang lautan dan
ombak jam delapan pagi, sebagai penakluk deras
rindu di dadaku yang hendak bermuara di dadamu.
/2/
Pesisir Pantai
pagi, kususuri pantai tanpa camar dan kapal sandar.
desau angin yang tak tentu dan debur air laut
berdatangan seperti wiru, hendak menggapai kaki
dan menghapus setiap bekas lesakannya di lenyau
pasir itu.
di pesisir basah, kupandangi remah karang yang
terseret ke tepian, murung batu apung tertimpa kayu,
cangkang siput meretak dan kepiting tergesa-gesa
menuju laut. umpama sehabis berperang, tubuh-
tubuh yang mati terserak tertinggal dan yang selamat
pulang.
kupandang juga laut lapang yang seperti jembar dada
ibu. seorang ibu yang dadanya sangat leluasa
menyimpan aku, ayah, kenangan, sayuran dan
mungkin kamu. laut itu, Lin, rindu yang tak
berhulu.
rindu itulah yang membimbingku untuk terus
berjalan dan menuju tinggi batu. singgahlah aku di
batu pertama.
Batu Pertama
di batu itu, kautak bisa melepas pandanganmu
kepada air besar dan batu yang tersibak lantaran
dihantam repetisi ombak. angka-angka di jam
tanganku letih menghitung waktu kedatangannya.
tapi setelah ombak pecah, membuih dan pudar, air
laut itu kembali jernih. hingga tak perlu kaumencari
bintang laut terkubur pasir, satu dua ikan kecil
berenang atau ganggang yang sabar menuntun riak
air dengan pandangan yang menajam.
sungguh jernih, Lin: mirip matamu yang menyimpan
bait-bait puisi.
ah, matahari melepuh di tanganku. dikirimnya juga
kemarau dan ilalang kering di tenggorokanku.
akupun turun. mencari sejuk.
setelah lama, kulihat batu yang lebih tinggi di
sebelahnya.
Batu Kedua
pada batu kedua, kubuka lubuk lampau di dalam
catatan yang kutulis dan kubaca sendiri. di dalamnya
tersimpan rumah tua yang ambruk oleh sebab
merapuh, lembab cuaca, epitaf ibu, dan bapak di
negari. betapa darah berdenyaran dan batu
menyerpih di mataku, lantaran rindu terjuntai tanpa
malka.
dan sesekali aku menuliskanmu yang selalu berlalu.
di batu itu, kutemukan pula batu yang menyerupai
kristal. masa lalunya dicuri ombak: secuil demi
secuil. tapi tetap kukuh sebagai batu. ia tak berubah
menjadi sebilah bambu atau kayu yang turut arus
menghantam batu dan batang yang masih tertanam.
malah aku pernah melihat batu itu menghalau
batang besar yang hendak menghantam orang-orang
yang kusyuk mencipta kenangan (mungkin juga aku,
nanti).
lalu kulempar mataku di kaki langit, di lautan yang
berombak.
mungkin kini, aku adalah ombak yang bergulung-
gulung dan membentur bebatuan itu. mungkin kini,
aku adalah ombak yang tak sampai pada tepian itu.
/3/
dari terbit hingga tenggelam matahari, hasrat dan
bahasa bergumul mengucapkan kamu yang entah di
mana. kau serupa awan yang terlihat, namun tak
dapat diraih oleh tanganku. tak ada tempat istirahat
bagi tanganku. pundakmu bukanlah milikku. tapi
jika pundakmu disentuh oleh sesiapa saja, terasa
tangannya di pundakku. dan apabila tirai telah
kututup kembali, kau tetap ada. dan apabila jendela
itu berlapis tujuh, mungkin matakulah yang dapat
menembus dan melihatmu di luar sana.
tapi aku tak berduka, apabila tak dapat
menyentuhmu. dukaku adalah ketika aku tak dapat
menuliskan kegelisahan di sajak. dan akan lebih
berduka lagi ketika sajakku tak menjadi apa-apa
setelah ia terlahir dari tanganku.
entah berapa sore telah tanggal di jendela. sumbu
jam meraih malam. tubuhku memintal dingin.
dingin dari musim gugur yang meluncurkan daun
merah, kuning dan ungu di tingkap yang dekil ini.
jangan kautanya seberapa ngilu desis angin di
telingaku, tapi tanyakan, seberapa banyak fotomu
menjadi fragmen yang memfosil di dadaku.
sementara bentang jarak antara kita, makin abu-abu.
/4/
mungkin, aku gagal membaca arah kedatanganmu.
kalimat-kalimat kuyu menerjemahkan kamu. berapa
sajak telah menuntaskan malam? tubuhku gemetaran
hingga aku mati,
.........................hidup lagi,
......................................mati lagi,
.................................................dan hidup kembali.
jika kaudatang ke pantai bersama sajak ini dan
kausaksikan ombak berdeburan menghantam
bebatuan, itu adalah semangatku yang hendak
menggapaimu.
sentuhlah, ombak itu akan tenang:
setenang subuh yang perlahan memudar, ketika
menjumpai matahari yang sadar.
(Kalianda, April, 2008)
Kepada Lina
/1/
di luar jendela, cahaya rebah di aspal hitam. pohon
dan daun-daun berbayang. kemudian cuaca,
peristiwa dan kamu menjelma anak-anak yang riang
menari.
ya, Lin, jendela ini sering menghantar aku
kepadamu, meski kamu hanya bayang: berlesatan
menggodaku untuk menjumpaimu.
maka kutulislah sajak untukmu: tentang lautan dan
ombak jam delapan pagi, sebagai penakluk deras
rindu di dadaku yang hendak bermuara di dadamu.
/2/
Pesisir Pantai
pagi, kususuri pantai tanpa camar dan kapal sandar.
desau angin yang tak tentu dan debur air laut
berdatangan seperti wiru, hendak menggapai kaki
dan menghapus setiap bekas lesakannya di lenyau
pasir itu.
di pesisir basah, kupandangi remah karang yang
terseret ke tepian, murung batu apung tertimpa kayu,
cangkang siput meretak dan kepiting tergesa-gesa
menuju laut. umpama sehabis berperang, tubuh-
tubuh yang mati terserak tertinggal dan yang selamat
pulang.
kupandang juga laut lapang yang seperti jembar dada
ibu. seorang ibu yang dadanya sangat leluasa
menyimpan aku, ayah, kenangan, sayuran dan
mungkin kamu. laut itu, Lin, rindu yang tak
berhulu.
rindu itulah yang membimbingku untuk terus
berjalan dan menuju tinggi batu. singgahlah aku di
batu pertama.
Batu Pertama
di batu itu, kautak bisa melepas pandanganmu
kepada air besar dan batu yang tersibak lantaran
dihantam repetisi ombak. angka-angka di jam
tanganku letih menghitung waktu kedatangannya.
tapi setelah ombak pecah, membuih dan pudar, air
laut itu kembali jernih. hingga tak perlu kaumencari
bintang laut terkubur pasir, satu dua ikan kecil
berenang atau ganggang yang sabar menuntun riak
air dengan pandangan yang menajam.
sungguh jernih, Lin: mirip matamu yang menyimpan
bait-bait puisi.
ah, matahari melepuh di tanganku. dikirimnya juga
kemarau dan ilalang kering di tenggorokanku.
akupun turun. mencari sejuk.
setelah lama, kulihat batu yang lebih tinggi di
sebelahnya.
Batu Kedua
pada batu kedua, kubuka lubuk lampau di dalam
catatan yang kutulis dan kubaca sendiri. di dalamnya
tersimpan rumah tua yang ambruk oleh sebab
merapuh, lembab cuaca, epitaf ibu, dan bapak di
negari. betapa darah berdenyaran dan batu
menyerpih di mataku, lantaran rindu terjuntai tanpa
malka.
dan sesekali aku menuliskanmu yang selalu berlalu.
di batu itu, kutemukan pula batu yang menyerupai
kristal. masa lalunya dicuri ombak: secuil demi
secuil. tapi tetap kukuh sebagai batu. ia tak berubah
menjadi sebilah bambu atau kayu yang turut arus
menghantam batu dan batang yang masih tertanam.
malah aku pernah melihat batu itu menghalau
batang besar yang hendak menghantam orang-orang
yang kusyuk mencipta kenangan (mungkin juga aku,
nanti).
lalu kulempar mataku di kaki langit, di lautan yang
berombak.
mungkin kini, aku adalah ombak yang bergulung-
gulung dan membentur bebatuan itu. mungkin kini,
aku adalah ombak yang tak sampai pada tepian itu.
/3/
dari terbit hingga tenggelam matahari, hasrat dan
bahasa bergumul mengucapkan kamu yang entah di
mana. kau serupa awan yang terlihat, namun tak
dapat diraih oleh tanganku. tak ada tempat istirahat
bagi tanganku. pundakmu bukanlah milikku. tapi
jika pundakmu disentuh oleh sesiapa saja, terasa
tangannya di pundakku. dan apabila tirai telah
kututup kembali, kau tetap ada. dan apabila jendela
itu berlapis tujuh, mungkin matakulah yang dapat
menembus dan melihatmu di luar sana.
tapi aku tak berduka, apabila tak dapat
menyentuhmu. dukaku adalah ketika aku tak dapat
menuliskan kegelisahan di sajak. dan akan lebih
berduka lagi ketika sajakku tak menjadi apa-apa
setelah ia terlahir dari tanganku.
entah berapa sore telah tanggal di jendela. sumbu
jam meraih malam. tubuhku memintal dingin.
dingin dari musim gugur yang meluncurkan daun
merah, kuning dan ungu di tingkap yang dekil ini.
jangan kautanya seberapa ngilu desis angin di
telingaku, tapi tanyakan, seberapa banyak fotomu
menjadi fragmen yang memfosil di dadaku.
sementara bentang jarak antara kita, makin abu-abu.
/4/
mungkin, aku gagal membaca arah kedatanganmu.
kalimat-kalimat kuyu menerjemahkan kamu. berapa
sajak telah menuntaskan malam? tubuhku gemetaran
hingga aku mati,
.........................hidup lagi,
......................................mati lagi,
.................................................dan hidup kembali.
jika kaudatang ke pantai bersama sajak ini dan
kausaksikan ombak berdeburan menghantam
bebatuan, itu adalah semangatku yang hendak
menggapaimu.
sentuhlah, ombak itu akan tenang:
setenang subuh yang perlahan memudar, ketika
menjumpai matahari yang sadar.
(Kalianda, April, 2008)
Comments
Post a Comment