PANCASILA SEBAGAI IDENTITAS DAN FILTER GLOBALISASI
Oleh:
Agit Yogi Subandi
Thomas L. Friedman[1], seorang jurnalis, menyebut dua dimensi dalam pengertiannya mengenai Globalisasi. Pertama dimensi ideologi dan yang kedua dimensi teknologi. Dimensi ideologi diartikan sebagai sebuah pemahaman atas kapitalisme dan pasar bebas, sedangkan dimensi teknologi adalah informasi yang membuat dunia seperti tak memiliki jarak.
Pancasila |
Untuk mempersiapkan menuju
globalisasi itu, maka pemerintah dengan visi-misi-nya, mengadakan pembangunan
di setiap bidang. Pembangunan ini tentu akan menelan banyak biaya, sehingga
merasa perlu untuk mengundang pihak asing untuk berinvestasi di negeri kita
tercinta ini. Memang tak bisa dielakkan lagi bahwa ada dampak negatif dan
dampak positifnya. Contohnya bisa kita lihat perkembangan penjualan buku-buku
impor, alat-alat industri
dan kebutuhan akan bahan baku untuk diproduksi.
Wujud konkrit dari persiapan
itu adalah berdirinya perusahaan asing di Indonesia, mereka mencoba memenuhi kebutuhan
permintaan pasar dunia dan pasar domestik serta pembangunan di negeri ini. Di
bidang farmasi berdiri perusahaan yang kedudukannya penting bagi farmasi di
Indonesia, seperti: Sanofi Aventis, Pfizer Indonesia, Bayer Indonesia, Otsuka, Dan Sebagainya[3].
Di bidang Migas, yaitu: Chevron (Perusahaan minyak
Amerika yang memproduksi 35 persen dari total produksi Indonesia. Beroperasi di
lapangan Duri di Riau sejak tahun 1952, lalu dua blok yang dimiliki oleh
Chevron adalah di Sumatera, Rokan dan Siak, telah menjadi blok dengan produksi
minyak terbesar di Indonesia), Total (Perusahaan migas asal Prancis, beroperasi
di blok Mahakam di Kalimantan Timur dengan anak usahanya yaitu Total E&P
Indonesie), ConocoPhillips (Perusahaan Amerika, beroperasi di Natuna Sea Block
B, Kuma dan Laut Arafuru), dan lain sebagainya . Belum lagi di bidang makanan,
elektronik, serta impor yang seharusnya bisa ditangani sendiri oleh negara ini[4]. Belum lagi
permasalahan rokok yang masih mengundang perdebatan di dunia[5].
Berarti terbukti pengertian
dimensi yang dikatakan Friedman tersebut. Penggambaran situasi perindustrian di
Indonesia telah berada di arah kapitalisme[6]
dan pasar bebas. Pasar bebas memang bisa menanggulangi sempitnya sasaran
konsumen, dan globalisasi membuatnya semakin luas. Tapi tentu pasar bebas tidak
akan terjadi jika tidak ada pengetahuan sebelumnya, maka pemahaman tentang
kapitalisme juga telah diajarkan sejak dulu, dan hal ini akan berkaitan dengan
neoliberalisme yang pernah menjadi perdebatan di kalangan masyarakat ketika
Budiono digandeng oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono[7].
Menurut yang dilansir Wikipedia
bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas[8],
Neoliberalisme atau neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad
keduapuluhan, yang merupakan redefinisi dari liberalisme klasik yang
dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik untuk mengurangi atau menolak
penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada
penciptaan Distorsi[9] dan High Cost Economy[10] yang
kemudian akan berujung pada tindakan koruptif[11].
Dalam penjabaran di situs itu, Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan
perdagangan bebas serta merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional juga
investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan
standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui
peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi.
Berarti globalisasi adalah
alasan mengapa neoliberalisme ada. Jika diibaratkan, globalisasi itu seperti
sebuah ruang tamu yang kosong, dan neoliberalisme adalah style atau tata ruang.
Dan kita harus tau, bahwa sistem ini juga menguntungkan bagi pembangunan negara
ini, tetapi tidak ada batasan antara negara lain dengan negara kita, terutama
negara pemilik modal, dan jika dilihat keuntungan yang kita dapat, itu sangat
dikit, karena tergantung pembagian hasil kedua negara pemilik modal dan negara
kita.
Para Globalis, seperti yang
dilansir Wikipedia Berbahasa Indonesia, percaya bahwa negara-negara dan
kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan dan ekonomi global yang
homogen. Sementara kaum tradisionalis, tidak percaya akan hal ini, mereka lebih percaya bahwa
yang terjadi saat ini, adalah lanjutan dari merebaknya kapitalisme. Tetapi kaum
transformasionalis memiliki pendapat yang berbeda dari keduanya, tapi meraka setuju
bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para globalis.
Mereka berpendapat, seharusnya globalisasi dianggap sebagai "seperangkat
hubungan yang saling berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang
sebagian besar tidak terjadi secara langsung".
Dalam hal teknologi
informasi, memang nyata di depan mata kita, bahwasannya pengetahuan tentang
dunia, semakin tak berjarak. Tetapi kita jadi tidak bisa menyaringnya, mana
yang baik untuk kita dan mana yang tidak baik untuk kita. Secara kultural,
negeri kita menjadi banyak hal yang baru, misalkan saja budaya Punk[12].
Budaya Punk yang digandrungi sebagian anak-anak muda itu, sebenarnya sebuah perkumpulan
yang anti kemapanan, mereka menentang bentuk-bentuk kapitalis yang ada di
London dan Amerika di abad 20. Budaya anak muda ini adalah budaya counter atau budaya perlawanan. Tapi di
sini, bukanlah itu yang ditangkap, melainkan style. Jika kita memahaminya sebagai budaya, maka itu akan disesuikan
ke budaya kita, tapi jika itu style,
maka yang terjadi, adalah peniruan bentuk belaka. Sebagai contoh, anak muda
kita tak segan-segan mengambil gaya rambut, pakaian dan apa yang mereka
lakukan, tanpa mempertimbangkan resiko dan efeknya.
Melihat penggambaran itu,
maka itu masuk ke dalam ciri yang dituliskan oleh laman di Wikipedia[13],
ciri berkembangnya globalisasi kebudayaan adalah Berkembangnya pertukaran
kebudayaan internasional, penyebaran prinsip multikebudayaan (multiculturalism) dan kemudahan akses suatu
individu terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya, Berkembangnya turisme
dan pariwisata, semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain, berkembangnya
mode yang berskala global (seperti pakaian, film dan lain lain), bertambah
banyaknya event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA, Persaingan
bebas dalam bidang ekonomi, dan meningkakan interaksi budaya antar negara
melalui perkembangan media massa dan jejaring sosial.
Jika informasi itu membentuk
semacam kebudayaan baru bagi sebagian manusia di Indonesia, maka persiapan yang
harus dilakukan adalah penguatan identitas akan negara, bangsa, dan individual.
Teknologi adalah alat untuk mempermudah kita melakukan sesuatu hal. Internet,
komputer adalah semacam alat untuk mempermudah pekerjaan kita, benda-benda itu
bukanlah style atau sebuah trend.
Kesadaran Sejarah
Pengetahuan akan sejarah
penting untuk memilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk negara kita.
Karena sejarah akan mengajarkan kita bagaimana kita seharusnya berbuat ntuk
masa depan. Makanya Presiden Pertama RI, Sukarno, selalu mengeluarkan akronim “Jasmerah” yang
berarti “jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Tapi kita seolah tidak paham
dengan hal itu, karena memang sejarah yang ada di dalam diri kita, seperti
dipelintir oleh seseorang berdasarkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada saat ini, kesadaran
sejarah penting sekali untuk membangun bangsa kita. Sejarah yang sama dan
menyeluruh, tidak lagi ditemukan benar atau salah, tepat atau tidak tepat. Yang
ada hanyalah saling melengkapi dan memberi pengetahuan tentang sejarah negeri
ini. Karena menurut Dr. Juraid Abdul Latief, M. Hum, dalam bukunya Manusia, Filsafat dan Sejarah, tentang Kesadaran
Sejarah (hal. 10), ia menyatakan bahwa kesadaran sejarah akan memperlihatkan
manusia tentang situasinya menjadi jauh lebih terbuka terhadap pemahaman
rasionalnya, memperlihatkan kepada manusia atau dirinya telah memahami dirinya
telah berkembang atau tidak serta memungkinkan dirinya bertindak secara berani
dalam kaitan dengan proses berlangsungnya berbagai kejadian sebelumnya. Jadi mengetahui
situasi historis akan membuat kita mengerti dan memahami kekinian.
Sikap batin
individu-individu di dalam sebuah bangsa atau negara, akan berbeda ketika
mengetahui sejarah negaranya, bangsa, dan dirinya. Oleh sebab itu, kesadaran
sejarah, akan membuat suatu negara, bangsa dan individu di dalamnya mengubah
dirinya dalam hubungan antar objek-objek tersebut, baik itu manusia terhadap
negaranya, manusia terhadap bangsanya, dan manusia terhadap dirinya. Tentu akan
menjadi lebih arif dan bijaksana dalam menentukan langkah apa yang baik untuk
kesemuanya itu. Sejarah akan memberikan penjelasan kepada diri setiap negara,
bangsa dan manusia, tentang siapa sesungguhnya dirinya. Sebab sejarah
menentukan identitas yang sangat bisa diterima.
Misalkan, dalam tradisi
islam, keturunan akan sangat berharga. Di jawa juga begitu, keturunan priyayi
akan sangat diperhitungkan, karena menurut ilmu biologi, gen-gen di dalam diri
kita ini bergantung kepada gen-gen[14]
sebelumnya. Maka baik buruknya negara kita, bergantung pada sejarahnya. Jika sejarahanya
saja simpang siur, bagaimana kita akan mengenal dan menentukan diri kita untuk
berbuat apa.
Lihat saja negara-negara
yang maju sekarang ini, saya yakin sekali, bahwa mereka mengerti sekali sejarah
negeri dan bangsanya. Contohnya negara Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Jerman.
Oleh sebab itu, mereka percaya diri, dan bagi kita yang telah mengetahui
sejarah bangsanya juga akan menghargai perjuangan nenek moyangnya. Kesimpulannya
sejarah itu penting untuk menguatkan identitas kita juga, baik sebagai negara,
bangsa, dan individu.
Identitas berasal dari kata identity yang berarti ciri, tanda,
jatidiri yang melekat pada seseorang, kelompok, atau sesuatu sehingga
membedakannya dengan yang lain. Maka identity
dapat memiliki dua arti, pertama, identitas atau jatidiri yang menunjuk pada
ciri-ciri yang melekat pada diri seseorang, dan kedua, identitas atau jatidiri
dapat berupa surat keterangan yang dapat menjelaskan pribadi seseorang dan
riwayat hidup seseorang. Jika kita lekatkan dengan kata nasional, maka Identitas
Nasional diartikan sebagai kepribadian nasional atau jatidiri nasional. Maka
identitas nasional adalah jatidiri yang dimiliki oleh suatu bangsa.
PANCASILA SEBAGAI FILTER
Pancasila, sebagai dasar
negara Indonesia, sesungguhnya menghendaki pergaulan yang luas, tetapi juga
menginginkan bersatunya rakyat Indonesia dalam segala hal, seperti halnya dalam
lingkup keluarga. Jika keluarga itu kompak, maka kita sebagai teman yang
berkunjung ke rumahnya, akan segan dan hormat kepada keluarga itu. Karena teman
kita itu tentu akan mengutamakan keluarganya terlebih dahulu ketimbang
kepentingannya pribadi. Begitulah seharusnya kita, kita harus bisa
memilah-milah kepentingan-kepentingan itu.
Dalam sebuah buku Jaendjri
M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional (Hal.
16), berpendapat seperti ini dalam salah
satu bab-nya, Pancasila, dibuat oleh Sukarno, sebagai sesuatu yang fundamen,
filsafat, pikiran-pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa hasrat yang
sedalam-dalamnya untuk mendirikan bangunan Indonesia merdeka. Sementara Hatta
memposisikan pancasila sebagai ideologi negara yang membimbing politik negara
dan hukum tata negara Indonesia. Ini disebut juga oleh Yudi Latif (2011) yang
menyatakan sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan. Ia juga
menyatakan bahwa secara filsafat, Pancasila memiliki landasan Ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Dan jika semua dijalankan akan menuju peradaban
Negara yang paripurna dan sulit sekali ideologi negara-negara yang hendak
‘mengangkangi’ Indonesia, untuk masuk dan mengatur-atur negara ini.
Intinya adalah menjadi tuan
di negeri sendiri, di rumah sendiri. Pancasila menghendaki hal semacam itu. Misalkan
kita ambil salah satu contoh konkrit sebuah tindakan seorang pemimpin, kita
ambil sampel Hugo Chaves, pemimpin Venezuela. Rakyatnya menjuluki Sang Legenda
bagi rakyat miskin.
Perjuangan Chaves dibuktikan selama 14 tahun ia
menjabat pemimpin Venezuela, ia berhasil mengentaskan orang miskin di atas 75
persen dan membebaskan mereka dari buta huruf. Tidak hanya itu, ia juga telah
membuatkan rakyatnya perumahan layak huni, dan ini dianggap andalan Chaves
untuk menyingkirkan saingannya dalam pemilu. Menurut Arif Sumantri Harahap,
mantan pejabat politik KBRI Caracas, yang saya petik dari opininya di koran
Kompas, 7 Maret 2013, Chaves memanfaatkan minyak sebagai senjata dalam berdiplomasi[15] agar tidak
tunduk kepada ideologi, militer, dan kebijakan negara adidaya, Amerika Serikat
(AS).
Senjata itu memang berhasil, dan terbukti dengan
sumber minyak itu, negara ini mampu membuat AS sedikit kewalahan, dan tak mampu
menguasai negara itu. Selain itu juga, Chaves mampu membuat rakyatnya perlahan
makmur dari minyak untuk sandang, dan papan rakyatnya. Sumber
daya alam yang ada diolah pemerintah hingga sedemikian rupa untuk kepentingan
bersama, atau bersama-sama berpikir dan bekerja untuk mengolah sumber daya alam
yang ada untuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tindakan ini juga diikuti oleh para Pemimpin negara di
Amerika Latin, dan Chaves mendukung mereka. Belum lagi untuk sumbangan bencana
alam untuk Aceh, dan beberapa negara yang tertimpa bencana alam lainnya.
Leganda Chaves ini, sesungguhnya mengajak kita untuk merefleksikan sejarah
bangsa dan kekayaan alam di dalamnya, di era globalisasi yang kian merebak ini.
Tindakan tersebut di atas,
telah mengamalkan sekian banyak butir di dalam Pancasila. Misalnya dari Sila
ketiga Pancasila yaitu, Persatuan Indonesia. Bagaimana seharusnya kita di
tengah arus globalisasi ini? Maka jawabannya tidak lain adalah kembalilah
kepada prinsip kita sebagai negara dan pancasila. Revitalisasi Pancasila perlu
untuk mengembalikan kita kepada nasib dan takdir kita sebagai bangsa, baik itu
sebagai cara berpikir, mengambil keputusan dan bertindak. Pendidikan mengenai
dasar negara kita itu, perlu ditingkatkan lagi, sehingga pengetahuan kita
tentang itu bertambah, bisa dimengerti dan dapat dipahami. Kita harus
mengetahui dan paham dasar negara kita sendiri, agar dapat menyaring
ideologi-ideologi yang masuk ke negeri kita ini, dan Pancasila bisa menjadi
pisau kritik bagi kita kepada pemerintah yang tidak menjalankan negara ini sebagaimana
yang terkandung di dalam Pancasila.
Jan Aart Scholte membagi-bagi
definisi globalisasi dalam berbagai hal: pertama dalam kaitannya dengan
Internasionalisasi yang Globalisasi dan diartikan untuk meningkatnya hubungan
internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan
identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Kedua,
dalam hal Liberalisasi, diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar
negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun
migrasi. Ketiga, universalisasi, digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal
material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat
menjadi pengalaman seluruh dunia. Keempat, westernisasi sebagai satu bentuk
dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat
sehingga mengglobal. Dan yang terakhir, kelima, hubungan transplanetari dan
suprateritorialitas, yang berarti dunia
global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.
Globalisasi juga menjadi
perlu, tapi tidak semua harus ditiru. Kita harus bisa memilah, sekali lagi,
mana yang baik buat kita dan negara kita. Misalnya cara belajar orang barat,
juga perlu kita pelajari, sebab di sana para ilmuwan banyak bermunculan. Tetapi
jangan lupa, kita tetaplah orang timur, banyak juga orang timur yang lebih
tinggi dari mereka, dan orang-orang barat banyak juga terinspirasi dengan para
ilmuwan timur, yang lebih mengutamakan adab dalam belajar dan saling
menghormati antar sesama teman, dan yang lebih tua dari kita.
Jika diamati, globalisasi
adalah semacam alat bagi paham neoliberalisme untuk menegakkan kaki kaum
pemilik modal untuk meraup keuntungan, dan hal ini akan membuat yang kaya
semakin kaya, dan yang miskin terus dihisap. Neoliberalisme, melalui
globalisasi, seperti hendak mengajarkan budaya konsumtif dan menekan daya
kritis individu dalam menghadapi kehidupannya sendiri. Oleh sebab itu, jadikan Pancasila
sebagai pisau bagi kita sebagai rakyat dan pemilik sah negeri ini, untuk
mengkritisi ideologi-ideologi yang merasuk lewat pintu pemerintah. Kita patut
curiga, kita patut juga protes terhadap kebijakan yang ada. Tentunya dengan
dasar-dasar yang jelas pula dan tidak ngawur.
Oleh sebab itu, Pancasila perlu kita pelajari dan pahami lagi untuk kehidupan dan
identitas nasional kita, baik sebagai individu, suku bangsa, dan negara.
REFERENSI
Buku:
Gaffar, Janedjri M., 2012. Demokrasi
Konstitusional. Konpress, Jakarta.
Latief, Juraid Abdul, 2006. Manusia,
Filsafat dan Sejarah. Bumi Aksara, Jakarta.
Media Cetak:
Harahap, Arif Sumantri.
Kamis, 7 Maret 2013. In Memoriam Hugo
Chavez. Kompas, hal. 7.
Kompas. Kamis, 7 Maret 2013.
Berani Menantang Ketidakadilan. Hal.
8
Situs:
- Wikipedia Berbahasa Indonesia: http://id.wikipedia.org/wiki/
- Blog Ayahsafa: http://ayahsafa.blogspot.com/2012/05/10-besar-perusahaan-farmasi-asing-di.html
- Situs berita Online Merdeka: http://www.merdeka.com/uang/5-perusahaan-asing-yang-kuasai-migas-indonesia/exxonmobil.html
- Situs berita Bisnis:http://m.bisnis.com/articles/rokok-kretek-as-belum-cabut-larangan-impor
- Situs Skyscrapercity: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=877926
Endnote:
[1] Thomas L. Friedman Lauren (lahir 20 Juli 1953) adalah seorang jurnalis, kolumnis
dan penulis Amerika. Dia menulis kolom dua kali seminggu untuk The New York
Times. Dia telah banyak menulis tentang urusan luar negeri, termasuk
perdagangan global, Timur Tengah, globalisasi, dan isu-isu lingkungan dan telah
memenangkan Hadiah Pulitzer tiga kali.
[2] Baca di situs Wikipedia
Berbahasa Indonesia, tentang Butir-Butir Pengamalan Pancasila: http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
[3] Baca tentang 10 besar
Perusahaan Farmasi Asing di Indonesia, di situs: http://ayahsafa.blogspot.com/2012/05/10-besar-perusahaan-farmasi-asing-di.html
[4] Baca juga berita dari
Merdeka.com yang membahas mengenai 5 perusahaan asing yang kuasai Migas
Indonesia, di: http://www.merdeka.com/uang/5-perusahaan-asing-yang-kuasai-migas-indonesia/exxonmobil.html
[5] Baca menganai AS belum
cabut larangan impor: http://m.bisnis.com/articles/rokok-kretek-as-belum-cabut-larangan-impor
[6] Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa
pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar
guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara
besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. Selengkapnya
baca di Situs Wikipedia Berbahasa Indonesia, tentang kapitalisme: http://id.wikipedia.org/wiki/Kapitalisme
[7] Baca tulisan Revrisond Baswir, mengani
Neoliberalisme, di situs Skscrapercity: http://www.skyscrapercity.com/showthread.php?t=877926
[8] Baca artikel tentang
Neoliberalisme: http://id.wikipedia.org/wiki/Neoliberalisme
[9] Distorsi (ekonomi) (atau ketidaksempurnaan pasar) adalah yang membuat
kondisi ekonomi ketidak efisien sehingga mengganggu agen ekonomi dalam
memaksimalkan kesejahteraan sosial dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan
mereka sendiri.
[10] Diartikan sebagai Ekonomi
berbiaya tinggi (Bahasa Inggris: high cost economy) adalah dihasilkan oleh
praktik ekonomi yang ilegal yang memainkan peran penting dalam membantu
mempercepat tekanan inflasi, selain sebagai penghambat faktor fundamental
seperti nilai tukar rupiah dan persediaan barang dan uang, ekonomi berbiaya
tinggi memiliki kelebihan besar biaya dibandingkan dengan lainnya yang
sebenarnya kecenderungan ini terjadi dalam merupakan hambatan tinggi untuk
masuknya industri di mana masalah biaya menonjol dan dalam penciptaan skala
ekonomi yang besar dalam kaitannya dengan ukuran pasar modern air bersih,
energi, telekomunikasi dan listrik adalah sangat mahal untuk membangun jaringan
transmisi (jaringan pipa air, gas, listrik dan saluran telepon).
[11] Menurut yang tertulis di
Wikipedia, Korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja
corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok)
adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta
pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak
legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak.
[12] Menurut pembahasan di
Wikipedia, Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London,
Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead.
Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan
skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk
juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir pada awal tahun 1970-an. Punk
juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
[13] Baca menganai Globalisasi
dengan subjudul Globalisasi Kebudayaan: http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi#cite_note-1
[14] Gen adalah Genealogi yang
berarti kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta
sejarahnya. Ahli genealogi menggunakan berita dari mulut ke mulut, catatan
sejarah, analisis genetik, serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi
mengenai suatu keluarga dan menunjukkan kekerabatan dan silsilah dari
anggota-anggotanya. Hasilnya sering ditampilkan dalam bentuk bagan (disebut
bagan silsilah) atau ditulis dalam bentuk narasi. Beberapa ahli membedakan
antara genealogi dan sejarah keluarga dan membatasi genealogi hanya pada
hubungan perkerabatan, sedangkan "sejarah keluarga" merujuk pada
penyediaan detail tambahan mengenai kehidupan dan konteks sejarah keluarga
tersebut. Sumber Wikipedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Genealogi
[15] Menurut laporan wartawan berdikarionline.com, yang mereka kutip dari
laporan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyebutkan bahwa, sebuah data terbaru melaporkan,
pada tahun 2010 cadangan minyak mentah Venezuela mencapai 296.5 milyar barel
atau naik 40,4%. Angka itu lebih tinggi dibanding cadangan minyak yang dipunyai
Arab Saudi yang mencapai 264 juta barel.
Comments
Post a Comment