2 Puisi Agit Yogi Subandi
Pohon Mangga
pohon mangga, ia adalah tempurung yang melapisi
ribuan kepingan ingatan di kepalaku. suatu ketika,
aku duduk di bawah pohon mangga, menuliskan
malam yang berlalu dan ucapan terakhir dari
daun-daun gugur kepada cabang pohon. dan di
bawah pohon mangga itu, aku mengambil buah
mangga ranum dan bulat lonjong, persis sekal dada
perempuan. dapat kukatakan hijau seperti seragam
tentara. betapa tanganku mencengkeram bagai elang
yang lapar. kutimang-timang, lalu kubelah-belah.
ah, betapa masam dan resam tubuhnya. membuat
ngilu di geraham dan perutku. sayang, tak kutemui
asin garam atau manis gula di tubuhnya. mungkin
aku harus bersabar menunggunya terjatuh seperti
setitik hujan dan berkata: “aku hadiahi tubuhku
yang matang kepada mulut, lidah, tenggorokanmu
dan perutmu. agar tak merasa bosan bertamasya di
dekatku.” kemudian untuk terakhir kali, aku duduk
di bawah pohon itu lagi. mengucap selamat tinggal.
tapi ia bergeming, hanya sesekali daunnya jatuh di
ubun-ubunku, sesekali pula ranting yang kerap
bercakap-cakap denganku itu jatuh. dan buah
mangga, tak ada yang jatuh. tak ada yang memasrah.
“selamat tinggal!” kataku sambil melambai. tiba-tiba
tubuhnya bergetar. dan tubuhnya mengeluarkan
nanah. “siapa yang akan menungguku? buah ini akan
tersiakan dan membusuk. aku hidup dan berbuah
hanya bagimu, bukan bagi suamiku atau keluargaku.
jangan lupakan aku.” dan aku terdiam. sediam batu.
(2008)
Aku Kembali Mengingatmu
1
malam ini aku mengingatmu di antara kantuk dan terjaga.
dari menit ke menit, jam ke jam engkau datang dengan
adegan-adegan yang tak kauselesaikan. dan aku pun tak
ingin kaumenyelesaikannya. kerena aku tak ingin lagi
mengetuk dadamu yang penuh dengan bayangan masa
depan yang kaudatangi setiap hari, kemudian kautinggalkan
menjadi masa lalu.
2
siang tadi, matamu bercahaya, dan kau memberiku waktu
untuk singgah beberapa detik di matamu. kutemukan
bangku di atas hamparan rumput hijau dan kudengar
kicauan burung pagi hari, serta angin yang datang dan
berlalu. ibarat lagu yang diputar sayup-sayup dan mengusik
dadaku tentang sesuatu yang berlalu pula.
sayang, tak kutemukan kepastian di dalam matamu: tentang
perjalanan tamasya atau menebus rindu di pinggir sungai,
di bawah lebat waru. maka aku keluar dari matamu, dengan
mengedipkan mataku.
3
kini wajamu seperti bunga pagi hari yang rekah. di mana
sisa-sisa embun merayap turun dari kelopak bunga menuju
ke tanah dan merelakan kaudijarah matahari seharian. dan
apabila kautersenyum, kedua pipimu mengembang seperti
rentangan sayap kupu-kupu.
sesaat semesta menjadi hening. bunga-bunga padma
berjatuhan: entah dari mana. seolah-olah ada yang
menyiapkan pembaringan bagi tubuhmu yang pualam. dan
kau, telah siap menerima ciuman pertama dariku.
4
malam ini aku mengingatmu. tapi aku tak berniat
merentangkan busur dan melepasnya ke dadamu. aku hanya
ingin mengenangmu dari pertemuan ke pertemuan dan dari
perpisahan ke perpisahan.
jejak kita lesak dan tertimbun dalam oleh jejak-jejak lain.
maka mengembaralah dan jangan pernah bertanya padaku:
“apakah kaumerindukanku?” betapa ia telah menyerpih dan
menyatu dengan tanah.
5
ah, malam ini aku mengingatmu, di antara suara jangrik
yang jemu dan desis kipas yang jenuh.
(Kedaton, 2008)
pohon mangga, ia adalah tempurung yang melapisi
ribuan kepingan ingatan di kepalaku. suatu ketika,
aku duduk di bawah pohon mangga, menuliskan
malam yang berlalu dan ucapan terakhir dari
daun-daun gugur kepada cabang pohon. dan di
bawah pohon mangga itu, aku mengambil buah
mangga ranum dan bulat lonjong, persis sekal dada
perempuan. dapat kukatakan hijau seperti seragam
tentara. betapa tanganku mencengkeram bagai elang
yang lapar. kutimang-timang, lalu kubelah-belah.
ah, betapa masam dan resam tubuhnya. membuat
ngilu di geraham dan perutku. sayang, tak kutemui
asin garam atau manis gula di tubuhnya. mungkin
aku harus bersabar menunggunya terjatuh seperti
setitik hujan dan berkata: “aku hadiahi tubuhku
yang matang kepada mulut, lidah, tenggorokanmu
dan perutmu. agar tak merasa bosan bertamasya di
dekatku.” kemudian untuk terakhir kali, aku duduk
di bawah pohon itu lagi. mengucap selamat tinggal.
tapi ia bergeming, hanya sesekali daunnya jatuh di
ubun-ubunku, sesekali pula ranting yang kerap
bercakap-cakap denganku itu jatuh. dan buah
mangga, tak ada yang jatuh. tak ada yang memasrah.
“selamat tinggal!” kataku sambil melambai. tiba-tiba
tubuhnya bergetar. dan tubuhnya mengeluarkan
nanah. “siapa yang akan menungguku? buah ini akan
tersiakan dan membusuk. aku hidup dan berbuah
hanya bagimu, bukan bagi suamiku atau keluargaku.
jangan lupakan aku.” dan aku terdiam. sediam batu.
(2008)
Malam Ini,
Aku Kembali Mengingatmu
1
malam ini aku mengingatmu di antara kantuk dan terjaga.
dari menit ke menit, jam ke jam engkau datang dengan
adegan-adegan yang tak kauselesaikan. dan aku pun tak
ingin kaumenyelesaikannya. kerena aku tak ingin lagi
mengetuk dadamu yang penuh dengan bayangan masa
depan yang kaudatangi setiap hari, kemudian kautinggalkan
menjadi masa lalu.
2
siang tadi, matamu bercahaya, dan kau memberiku waktu
untuk singgah beberapa detik di matamu. kutemukan
bangku di atas hamparan rumput hijau dan kudengar
kicauan burung pagi hari, serta angin yang datang dan
berlalu. ibarat lagu yang diputar sayup-sayup dan mengusik
dadaku tentang sesuatu yang berlalu pula.
sayang, tak kutemukan kepastian di dalam matamu: tentang
perjalanan tamasya atau menebus rindu di pinggir sungai,
di bawah lebat waru. maka aku keluar dari matamu, dengan
mengedipkan mataku.
3
kini wajamu seperti bunga pagi hari yang rekah. di mana
sisa-sisa embun merayap turun dari kelopak bunga menuju
ke tanah dan merelakan kaudijarah matahari seharian. dan
apabila kautersenyum, kedua pipimu mengembang seperti
rentangan sayap kupu-kupu.
sesaat semesta menjadi hening. bunga-bunga padma
berjatuhan: entah dari mana. seolah-olah ada yang
menyiapkan pembaringan bagi tubuhmu yang pualam. dan
kau, telah siap menerima ciuman pertama dariku.
4
malam ini aku mengingatmu. tapi aku tak berniat
merentangkan busur dan melepasnya ke dadamu. aku hanya
ingin mengenangmu dari pertemuan ke pertemuan dan dari
perpisahan ke perpisahan.
jejak kita lesak dan tertimbun dalam oleh jejak-jejak lain.
maka mengembaralah dan jangan pernah bertanya padaku:
“apakah kaumerindukanku?” betapa ia telah menyerpih dan
menyatu dengan tanah.
5
ah, malam ini aku mengingatmu, di antara suara jangrik
yang jemu dan desis kipas yang jenuh.
(Kedaton, 2008)
Comments
Post a Comment