SASTRA SEBAGAI REFLEKSI KEMANUSIAAN
Pengarang :Putu Wijaya
subjek :Teori Sastra
SASTRA SEBAGAI REFLEKSI KEMANUSIAAN
Oleh:
Putu Wijaya
Kemanusiaan kita kenal sebagai sesuatu yang universal. Cita-cita tentang kesejahteraan manusia dikenal oleh seluruh umat manusia di seantero dunia dengan cara masing-masing. Betapa pun beragam corak pelafalannya karena konteks setiap kelompok masyarakat banyak memberikan warna, tidak pelak lagi, semangat itu meruap dari naluri cinta kepada sesama.
Rasa kemanusiaan itu menyeberangi perbedaan budaya, warna kulit, agama, anutan, dan keyakinan, menembus batas suku dan negara, menyebrangi waktu dan jarak, serta menembus perbedaan strata sosial. Bahkan, tidak terhalangi oleh kekuasaan yang merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam berbagai sengketa dewasa ini.
Sastra sejak awal sudah melihat kemanusiaan sebagai lahan yang sangat kaya dan luas jangkauannya. Sebagai upaya untuk menerobos segala barikade konteks manusia masing-masing pada desa-kala-patranya (tempat-waktu-suasananya), sastra telah memilih tema-tema terbaik, seperti kematian, kelahiran, kesakitan, kesedihan, kesenangan, kesangsian, penantian, persengketaan, persaudaraan, cinta, dan nafsu-nafsu bawah sadar yang sangat mendasar dan berserak pada setiap manusia di seluruh jagat raya.
Sastra tertulis, yang kemudian membuat bahasa menjadi halangan untuk mencapai manusia secara serentak, tidak sepenuhnya bisa menghalangi penjelajahan sastra sebagai pengembaraan spiritual manusia sejagat. Dalam waktu-waktu yang tertentu suara-suara kemanusiaan itu secara estafet meloncat dari satu bahasa ke bahasa yang lain, sehingga cepat atau lambat, seperti air, suara yang mau digemakannya merembes ke seluruh dunia. Sastra lisan yang kemudian merupakan kelanjutan kalau tidak bisa dikatakan pasukan khusus, dari sastra, secara informal menusukkan peluru-peluru kemanusiaan itu, langsung kepada manusia lain dengan bahasa ibunya. Akhirnya, tidak berkelebihan kalau dikatakan bahwa sastra adalah jembatan ajaib yang menghubungkan manusia dengan manusia tanpa perlu melalui petugas pabean apalagi harus menunjukkan paspor.
Sastra menjadi warga negara dunia yang bebas masuk ke mana saja karena dia kelihatan, tetapi tidak tampak seluruhnya. Ia adalah imajinasi yang hanya akan tertangkap oleh mata hati yang peka. Ia berwujud, tetapi tidak seluruhnya bertubuh karena ia adalah sebuah pengalaman spiritual. Sastra sudah menjadi sebuah jaringan internasional yang tidak terkendali lagi kemampuan jangkauannya, tidak terhalang-halangi lagi oleh batas-batas negara dan politik. Ia begitu ampuh, tetapi juga begitu halus, tidak ubahnya seperti yang dilakukan oleh jaringan internet dewasa ini. Sastra sudah membebaskan manusia dari berbagai batasan.
Sastra dengan demikian bukan hanya tulisan dan bukan hanya buku-buku. Sastra adalah bentuk pengalaman spiritual yang diungkapkan dengan kata-kata yang plastis sehingga memiliki daya magis yang dikemas melalui bentuk-bentuk cerita rekaan atau semi rekaan sehingga merupakan lukisan-lukisan kehidupan yang merupakan cerminan dari kehidupan nyata manusia sehari-hari sehingga penikmatnya menjadi percaya. Sastra adalah cerita tentang manusia atau cerita tentang apa saja yang memberikan kepada manusia sebuah pengalaman spiritual untuk merenungi kehidupan masa lalu, masa kini, dan masa datang untuk mengantarkan manusia kepada kehidupan yang lebih baik, lebih sempurna, dan lebih membahagiakan manusia bersama-sama.
Sastra dengan demikian adalah sebuah senjata kemanusiaan yang ditembakkan sebagai upaya untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia, tidak untuk mengatakan bahwa manusia yang satu harus sama rata dengan manusia yang lain, tetapi hanya untuk menyadarkan bahwa manusia satu dengan yang lain saling terkait dan tidak mungkin hidup tanpa manusia yang lain. Bahwa manusia memiliki kemungkinan yang seharusnya sama, tetapi adalah perjuangan, kegigihan, dan kemudian keberuntungan/nasib baik yang menjadikannya berbeda. Berbeda tidak berarti bermusuhan, tetapi memiliki perjalanan yang tidak sama perkembangannya.
Sebagai sebuah senjata, sastra bisa saja dibelokkan untuk menembak yang lain. Sastra bisa menjadi senjata politik dan memihak kepada kebenaran politik. Sastra juga bisa menjadi prajurit kemiskinan untuk memperjuangkan nasib manusia yang papa agar bangkit dan menjadi seimbang dengan mereka yang gemah ripah. Sastra juga bisa menjadi alat perjuangan bagi manusia-manusia yang tertindas untuk menendang kekuasaan yang menidurinya dengan semena-mena. Akan tetapi, semua itu hanya bagian dari kemungkinan sastra sebagai alat, di tangan manusia yang menciptakannya. Sastra itu sendiri, betapa pun sudah dibelokkan menjadi berbagai senjata, ia tetap saja memiliki potensi dasar untuk menyentuh perasaan kemanusiaan dengan cinta. Kalau tidak, tidak akan mungkin ia potensial untuk menjadi berbagai tembakan meriam.
Sastra yang memihak kepada kemanusiaan, dalam pergolakan politik, kadang kala terasa aneh. Ia bisa dituduh sebagai sebuah mimpi yang mengingkari sejarah karena seperti mengingkari konteksnya. Namun, sebenarnya ia setia kepada konteks dasarnya sebagai suara dasar kemanusiaan yang berbicara untuk manusia secara umum.
Kenyataan di atas sering dipertentangkan, sering membuat sastra menjadi blok-blok yang satu sama lain saling tembak-menembak. Dengan demikian, bukan saja dunia kekuasaan dan dunia politik serta dunia ekonomi yang berperang, melainkan dunia sastra pun berperang. Para sastrawan pun gontok-gontokan. Sastra pun menjadi medan kurusetra dan para sastrawan saling membunuh seperti melupakan hakikatnya untuk menuntun manusia kepada kesejahteraan.
Itulah persoalan kita semua, persoalan seluruh sektor kehidupan kita semua di seluruh dunia. Setiap ciptaan manusia, kalau memiliki potensi luar biasa, akhirnya akan melahirkan kekuasaan. Kekuasaan itu kalau tidak bisa dipergunakan dengan baik akan mencederakan manusia itu sendiri.
Kalau sastra menjadi begitu ampuh, ketika ia menjadi sebuah kekuatan, ia pun mengulangi sejarah kekuasaan yang lama. Sastra dapat dibalikkan untuk menyerang manusia. Sastra yang semula dibuat untuk melindungi manusia dari deraan kekuasaan pada akhirnya bisa menjadi kekuasaan itu sendiri yang tidak segan untuk merobek kemanusiaan.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini saya ingin mengatakan sebuah kalimat: bahwa sastra adalah barang yang sangat canggih dan sekaligus sangat berbahaya sehingga kita harus benar-benar superhati-hati untuk mempergunakannya untuk menembak.
Sastra Reformasi
Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para teknokrat bergabung membenahi Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan rakyatnya. Agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.
Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.
Kelas menengah yang kemudian lahir ternyata bukan memelopori penalaran, melainkan malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada kemiskinannya, lalu menjadi lapar pada kesuksesan, tetapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan fisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.
Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah perkembangan batin amat terpojok. Tempatnya ada di luar pembangunan, bahkan tampak mengganggu. Karena dianggap tidak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan, digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan pariwisata.
Sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia menjadi hanya kelangenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.
Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakan pasar. Hal itu ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup mewah. Untuk bertahan, sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.
Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh, antara lain lewat sastra, sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan peringkat nol di dalam kehidupan. Yang menjadi perhatian utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi, dan teknologi. Akan tetapi, itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.
Reformasi mendadak memberikan kesempatan. Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra di dalam kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.
Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang, membuka pintu dan memulai kerja besar. Namun, benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa? Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?
Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal, pada zamannya tidak sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, tetapi dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan, pada zaman kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena mereka dilarang berkarya, tetapi lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budid Darma, dan sebagainya seperti tidak tersentuh oleh berbagai hambatan.
Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar yang lain? Seharusnya lahir. Tanpa hal itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Akan tetapi, sayang, sudah setahun reformasi bergulir yang lahir baru novel Saman dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipuji oleh para pengamat sebagai jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia, Malu Aku Jadi Orang Indonesia, kumpulan sajak Taufiq Ismail., novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino, serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?
Mereka sedang giat menulis atau ikut berkampanye? Apa karena krismon yang membuat harga kertas membubung tinggi, penerbitan menjadi seret? Apa karena prioritas dikerahkan pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik? Apa karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tidak berdaya?
Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan produktif. Sementara itu, kebebasan sering kali berakhir dengan kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tidak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu akan mengisi dengan apa.
Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga dapat membunuh karena dalam ketidakbebasan macam mana pun selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Dengan demikian, sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya, kalau memang tidak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia tetap tidak akan hadir atau menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi masukan-masukan berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing sehingga sastra tidak hanya berhenti sebagai sastra. Akan tetapi, sastra berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan demikian, sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan karena memiliki akses ke segala arah. Sementara itu, keindahan bahasa adalah bonusnya.
Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya bukan berarti "Pembebasan" yang berarti bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini saatnya sastra dapat menuliskan apa saja adalah tidak karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Mengapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Sastra yang bebas tidak pernah bisa ditahan oleh apa pun karena memiliki kreativitas untuk mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Suka dan tidak suka, kebebasan dan ketidakbebasan ternyata saling melengkapi.
Sastra reformasi, menurut hemat saya, bukan "pesta kebebasan dan selamat tinggal ketidakbebasan", melainkan masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang seyogianya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti merupakan kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.
Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya sebagai sembako batin. Namun, dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra harus melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, melainkan karena tidak dewasa menyikapi situasi.
Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan. Oleh karena itu, sastra tidak mungkin tidak tetap akan menghadapi berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi yang tidak lancar, aturan main yang tidak mendukung, bahkan juga sensor, dan sebagainya yang dahulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi menjadi bertambah berat karena terjadi dalam era reformasi.
Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan secara aktif, membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan dan bukan sekadar "sastra". Untuk itu, sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Penampilan yang rusak, citra yang kalang kabut, serta wawasan dan gagasan yang mgawur dan mabuk justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.
Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kualitas dan sekaligus kuantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan seperti partai-partai merebut kursi dalam pemilu. Kalau tidak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tidak mempunyai apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Oleh karena itu, sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber sehingga mau tidak mau pantas diakui.
Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas, dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan lain, seperti sejarah, politik, ekonomi, atau teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya pengalaman-pengalaman batinnya.
Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan bahwa tanpa sastra kehidupan akan berjalan timpang. Hal itu tidak cukup dengan sebuah slogan, tetapi kerja nyata sehingga ada bukti, dengan karya-karya yang berkesinambungan, dengan usaha-usaha, dengan percobaan-percobaan, serta barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi, dan kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.
Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai pembenaran kemacetan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa pada sastra. Sering hal itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.
Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Siapkah sastrawan menumbuhkan etos kerja yang lebih kerasukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkah pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Selanjutnya, akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya, akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai sembako?
Era reformasi tampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Mereka tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya, atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Hal itu mutlak memerlukan kerja.
Reposisi Sastra Indonesia
Posisi sastra Indonesia kini sudah sedemikian terpuruk menjadi barang yang tidak relevan dalam konteks pendidikan. Sastra Indonesia sudah pailit. Anak-anak sekolah Indonesia hampir tidak mendapat pelajaran sastra lagi. Dalam sebuah penyidikan informal, sastrawan Taufiq Ismail menemukan bahwa pelajar Indonesia membaca 0 (nol) buku di dalam kurun 3 tahun, sedangkan pelajar dari berbagai negara mencatat 10 sampai 30 buku. Malangnya, keadaan yang amat papa itu masih dianggap sudah lumayan karena sastra masih ditempelkan pada pelajaran bahasa sebagai aksesoris, seakan dengan mempelajari bahasa Indonesia sudah dengan sendirinya menguasai sastra Indonesia. Hasilnya pelajaran sastra Indonesia adalah embel-embel dari pelajaran bahasa dan memang tidak perlu diberikan "otonomi daerah".
Dalam posisi yang "hina" dan "sepele" tersebut upaya memberdayakan sastra Indonesia, sebagai potensi untuk membangun Indonesia baru, menjadi absurd, kecuali kalau kita melakukan reposisi radikal terhadap pengertian sastra itu sendiri, sebuah upaya akrobatik, yang ambisius dan bombas, untuk memberdayakan kembali lahan yang sudah mati suri itu. Kalau hal itu tidak dilakukan penyulapan, dari tempatnya yang mati kutu seperti sekarang, sastra jangankan berdaya, bernapas pun tidak mampu.
Dengan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi harus dipujikan bahwa pelajaran bahasa Indonesia membuat orang belajar tentang ilmu tata bahasa, mengerti tentang bahasa Indonesia sebagai ilmu, dan mau tidak mau juga akan mengerti logika dasar manusia Indonesia dalam merekam dan menyimpulkan berbagai satuan kehidupan ke dalam bahasa. Pelajaran bahasa adalah pelajaran menghafal pengertian kata dan menyusun kalimat yang membentuk pengertian untuk dilepaskan dalam lalu lintas percakapan. Pelajaran bahasa mengantarkan bagaimana mempergunakan bahasa sebagai alat berkomunikasi yang memiliki tatanan.
Akan tetapi, pelajaran tata bahasa tidak dengan sendirinya bermakna berlatih mempergunakan bahasa untuk membentangkan alam pikiran personal kepada orang lain. Pengetahuan bahasa belum tentu menjamin yang bersangkutan fasih apalagi lihai mempergunakan bahasa Indonesia untuk mengembangkan renungan-renungannya tentang makna-makna dalam kehidupan. Bahasa Indonesia tidak dengan sendirinya bisa menjadi idiom pengucapan personal yang secara efektif mampu menolong proses pemikiran dan ekspresi emosional seseorang kalau tidak disertai latihan-latihan khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sastra. Ilmu tata bahasa hanya sampai sebagai sebuah pengetahuan untuk dapat menganalisis bahasa, bukan sebagai alat mentransver apalagi mengonversi pengertian personal.
Akibatnya, ketika seorang yang ahli bahasa Indonesia berpikir, merasa, dan kemudian berbicara untuk mengekspresikan pengalaman personalnya, ia belum tentu berhasil mengembangkan bahasa itu menjadi kosakata yang secara akurat mewakili makna-makna yang hendak diutarakannnya, apalagi menyangkut pengalaman-pengalaman spiritual yang pelik, abstrak, dan penuh dengan asosiasi serta simbol-simbol yang merupakan kegiatan khusus sastra. Di dalam sastra, ilmu bahasa, tata bahasa dikembangkan, diaplikasikan, dan dipergunakan untuk menerjemahkan berbagai pengalaman spiritual seseorang agar dapat sampai kepada orang lain secara akurat dengan berbagai cara.
Sastra sebagaimana yang selalu kita kenal selama ini selalu diidentifikasi sebagai karya tulis, karya indah yang tertulis, baik berbentuk puisi maupun prosa. Lebih jauh lagi, yang menonjol adalah faktanya sebagai sebuah fiksi. Ia dibedakan dengan kenyataan faktual. Hubungannya dengan intuisi dan emosi sangat kental. Akan tetapi, kesinambungannnya dengan rasio, pemikiran, dan telaah-telaah sudah dipreteli habis. Dengan demikian, sastra menjadi penari strip tease, penyebar keindahan yang menimbulkan kelangenan, kenikmatan, keasyikmasyukan, dan akhirnya kealpaan dan bencana.
Sastra sebagaimana di atas kopong dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan "sastra" lagi. Dia menjadi barang komoditas yang bertuan kepada bisnis. Hidupnya subur dan didukung oleh lapisan masyarakat yang luas. Dia menjadi barang nyamikan masyarakat yang menimbun lemak serta kolestrol.. Akhirnya, hal itu membawa masyarakat ke dalam pendangkalan-pendangkalan sehingga massa menjadi tolol, masa bodoh, dan malas untuk berpikir. Sastra pun menjadi kuburan dan pelarian bagi pemalas.
Sastra yang mengisi pasar itu memiliki kekuasaan dahsyat. Ia masuk ke dalam gubuk-gubuk kecoak sampai ke rak buku masyarakat kelas elit yang menyembahnya sebagai berhala. Sastra semacam itulah yang memiliki kekuatan nyata. Para sosiolog, ahli sejarah, dan psikolog mengenalnya secara baik. Karena lewat sastra itulah ia dapat membedah fenomena masyarakat pada suatu masa. Dari makanan batinnya itulah mereka mengenal isi perut dan lekuk-lekuk otak manusia macam apa yang menghuni suatu dekade. Lalu, mereka menulis risalah sejarah, sosiologi, psikologi dan malangnya kadang kala tidak tertolak juga menulis risalah sastra. Walhasil, bukan sesuatu yang tidak berguna.
Akan tetapi, kita memang tidak sedang bicara soal kegunaan. Karena apa pun substansinya, apabila dipandang dari sudut kegunaan, sastra tetap akan berbunyi kemanfatannya. Kita mencoba melihat sudah ada penyimpangan nilai-nilai antara kegunaan, kepentingan, dan kualitas. Karena fenomena sastra dagangan memiliki kegunaan dan penting dalam mengungkap fenomena masyarakat, ia cendrung dianggap memiliki kualitas. Sementara itu, yang benar-benar berkualitas, karena tidak secara gamblang menunjukkan kegunaan dan memerlukan waktu untuk mengidentifikasi arti pentingnya, menjadi sampah.
Khususnya terhadap berbagai peninjau dari mancanegara, secara berseloroh pernah disindir oleh pemusik Slamet Abdul Syukur, bahwa mereka biasanya melakukan telaah dengan melempar batu ke hutan, lalu mencari-cari batu yang barusan dilemparkannya (anekdot ini saya dengar dari orang lain). Merekalah yang sering memberi label keliru karena kepentingan mereka berbeda. Namun, kekeliruan mereka kemudian menjadi hukum karena penghargaan kita terhadap peneliti mancanegara demikian tinggi.
Sudah terjadi kerancuan di dalam sastra Indonesia, kerancuan yang amat mendalam, karena kiblatnya adalah kepentingan dalam tanda kutip "Barat". Namun, hal itu bukan tidak penting. Karena dari kerancuan itu, menjadi semakin terang, sastra apa yang selama ini "tidak" dibicarakan. Sastra itulah yang akan kita bicakan berikut ini.
Yang kita maksudkan dengan sastra adalah daerah gelap yang belum dijelajah oleh tangan-tangan peneliti yang tidak lain dari "pencari batu yang dilemparkannya sendiri itu". Hal itu harus dimulai dengan tidak lagi hanya memarkir sastra sebagai tulisan yang indah dan menarik saja. Sastra adalah seluruh ekspresi manusia yang diutarakan dengan bahasa, tertulis ataupun tidak tertulis dan indah atau pun tidak indah.
Apakah itu penting, berguna atau berkualitas, tidak ditentukan oleh mereka yang menilainya. Ia ditentukan oleh eksistensinya sendiri. Selama ia merupakan ekspresi lewat bahasa, ia adalah penting, berguna dan berkualitas sebagai sastra. Sastra adalah seluruh upaya bahasa untuk mengekspresikan eksistensi manusia-manusia yang diaturnya.
Sastra dengan demikian tidak lagi hanya merupakan barang hiburan. Bahwa ia dapat menghibur, itu besar kemungkinannya, tetapi bukanlah tujuannnya. Sastra adalah seluruh pengucapan manusia, seluruh pikir rasa dan karsa manusia lewat bahasa yang mereka kuasai. Sastra adalah pemikiran, perenungan, pencarian, pengembaraan, dan pengutaraan pengalaman spiritual manusia bersangkutan dengan memakai bahasa sebagai wadahnya.
Sastra adalah sebuah dialog, pencarian spiritual terhadap berbagai makna dengan bahasa sebagai alatnya. Jadi, sastra bukan bahasa itu sendiri. Sastra juga bukan sekadar alat dari bahasa. Sastra adalah ilmu bagaimana memanfaatkan bahasa menjadi kosakata untuk menerjemahkan berbagai makna kepada orang lain dengan akurat. Bahasa bagaikan sungai tempat sastra mengalir menuju ke makna yang hendak disergapnya. Bahasa dan sastra adalah dua sekawan yang saling membahu untuk mengembangkan daya jangkau pikir-rasa dan karsa manusia yang mencari jati dirinya.
Sastra tidak bisa lagi dipelajari hanya sebagai teknik penulisan. Sastra bukan hanya penggolongan jenis-jenis tulisan dengan bentuk-bentuk yang dipakainya. Sastra adalah perkembangan pemikiran di dalam memahami kehidupan dan seluruh fenomenanya. Sastra juga bukan hanya cerita, simbol-simbol, ungkapan-ungkapan, dan permainan bahasa. Sastra adalah cara mengidentifikasi, sikap, dan pilihan sudut padang dalam membelah kenyataan-kenyataan sosial dan spiritual dengan bahasa sebagai mediumnya.
Pelajaran sastra yang selama ini diwarnai dengan kegiatan penghafalan nama serta tahun-tahun merupakan kesalahan besar. Pelajaran sastra seyogianya adalah pelajaran tentang proses pemikiran. Ia bersangkutan bukan hanya dengan masalah-masalah estetika kendati estetika merupakan bagian yang sangat penting di dalam sastra. Ia memerlukan berbagai ilmu bantu, seperti filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah, politik, bahasa itu sendiri, dan bahkan juga ekonomi dan teologi.
Mempelajari sastra tidak lagi hanya merupakan upaya untuk menangkap gambar-gambar pengembaraan imajinasi, tetapi struktur pemikiran. Sastra merupakan tesis, telaah, skripsi bahkan disertasi dari pengarangnya terhadap tema yang ia tekuni. Wilayahnya berserak di seluruh wilayah pengetahuan. Sastra tidak mungkin kurang dari ilmu pengetahuan itu sendiri. Sastrawan adalah ilmuwan dan teknokrat yang berbicara tidak dengan angka-angka dan rumus-rumus mati, tetapi dengan makna-makna yang bergerak terus.
Dengan memosisikkan sastra semacam itu, sastra menjadi memiliki berbagai kekuatan konkret. Pertama, sastra adalah dokumen perkembangan daya pikir dengan imajinasi sebagai wilayahnya dan yang senantiasa terus bergerak. Ia tidak semata-mata fiksi, tetapi juga bukan fakta yang kering. Ia merangkul keduanya sehingga memiliki wilayah jelajah yang tidak terbatas.
Kedua, sastra adalah seminar terbuka yang terus-menerus berproses mengikuti pasang surut kehidupan. Kesimpulan-kesimpulannnya bertumbuhan. Ia mengembangkan budaya interpretasi, melihat segala sesuatu dari segala sudut berbeda dengan hasil yang berbeda, dengan kebenaran yang berbeda, tetapi saling menunjang sebagai sebuah keutuhan. Sastra adalah pendidikan jiwa yang mengembangkan citra manusia dan kualitas kehidupan dari dalam batin manusia. Sastra mengajak manusia untuk terus menelusuri perkembangan dan kemungkinan-kemungkinan.
Ketiga, sastra adalah senjata yang efektif dan kekuasaan raksasa yang lunak. Dengan sastra, dapat dicapai berbagai hal yang tidak tergapai oleh kekerasan senjata. Pada gilirannnya sastra yang berpotensi memiliki kekuasaan untuk mengarahkan manusia ke tujuan yang hendak digiringnya dengan pesona bahasa dan makna-maknanya tanpa keterpaksaan dari yang bersangkutan.
Barangkali masih dapat dicari kekuatan sastra yang lain, tetapi tiga hal di atas saja sudah cukup untuk membuat sastra berhenti tidak berdaya. Sastra yang diciptakan oleh manusia menjadi potensial untuk membangun manusia. Dalam situasi perpecahan yang kini merebak di mana-mana sastra juga tidak sedikit kemungkinannya untuk menyumbangkan andil karena sastra dapat menembus apa yang tidak tertembus oleh senjata. Sastra dapat menggerakkan apa yang tidak bergerak oleh kekuasaan. Sastra dapat menghubungkan apa yang tidak dapat terhubungkan oleh jembatan persatuan. Pada puncaknya sastra dapat memberdayakan bahasa agar lebih hidup dan lebih bermakna dalam pergaulan manusia.
Dengan bahasa, manusia dapat bertemu dan merasakan dirinya satu nasib. Membangun dan mengembangkan sastra Indonesia dengan sendirinya juga memosisikan sastra sebagai perjuangan persatuan dan kesatuan bangsa. Namun, hal itu tidak akan mungkin terjadi sebelum kita mereposisi sastra dalam peta pendidikan kita mulai sekarang. Sastra berhak menjadi bagian dari ilmu pengetahuan sehingga sastra menjadi baru dan relevan. Sastra harus tidak sepantasnya hanya benalu apalagi virus dalam pelajaran bahasa sebagaimana tersistemkan dalam pendidikan kita selama ini.
Pemberdayaan Sastra Indonesia
Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.
Namun, sampai pada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Seharusnya ada wujud tulisannya dahulu agar bisa diucapkan. Namun, pada praktiknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian, memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun, ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.
Sebagai seorang penulis, saya tidak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan ataupun lisan. Akan tetapi, sastra juga bukan pengertian saja. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.
Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna adalah bagian dari cita-cita sastra. Oleh karena itulah, dalam alam pikiran saya, sastra tidak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau ada aliran dan idiologi sastra, hal itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan pada kesimpulan yang salah.
Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba berbicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.
Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing karena pengertian Indonesia sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.
Pengertian "baru" dicantelkan kepada Indonesia sesudah gerakan reformasi pada tahun 1998, ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak asasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 -- hanya saja dahulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna pemindaian (scanning) ulang, defragmentasi, instal dan format ulang terhadap harddisk Indonesia yang sudah salah.
Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut. Bagi sastra, hal itu sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak asasinya sendiri karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.
Tidak ada bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun -- sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa - sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat. Akibatnya, sastra pun menjadi tidak saja mandul, tetapi terutama sekali berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.
Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa tidak lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tidak bisa lagi dipercaya. Kalimat bersipongang dan memekakkan, tetapi kosong, khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi "safe deposite" yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.
Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dahulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Ia dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi. Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihainya disulap di dalam "dagang" yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat yang akan membawa bangsa ke mimpi gemah ripah loh jinawi.
Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut mengacir berserakan ke sana kemari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tidak berguna. Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan, atau amtenar yang terasa lebih konkret memikirkan realitas dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tidak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi "maling-maling" besar, sebagaimana Rendra. Namun, banyak sekali di antaranya justru "menikmati" keadaan tidak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya. Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi semua orang boleh melakukan apa saja. Mereka juga tetap tidak berbuat apa-apa karena memang "dari sananya" sudah tidak berdaya.
Kenyataan yang juga harus diakui adalah bahwa di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, dan seni mencuri. Tidak peduli nilai karyanya asal tampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.
Sastra yang semestinya mempunyai potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya menjadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditas. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.
Sebagai barang komodias, sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis bertambah. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi, membludak.
Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. "Sastra" terpacu secara kuantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tidak kalah pamornya dengan sastrawan tua. Sementara itu, sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Sutarji C. Bachri, Taufiq Ismail (sekadar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru, seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darma, dan Ayu Utami..
Memang secara perseorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya, di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu buku yang terus bekerja dengan setia. Hasilnya pun bagus. Akan tetapi, sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan. Jangan mengukur kekuatan dari analisis seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar tidak habis dalam waktu 5 tahun meskipun memang buku Ayu Utami belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).
Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan sudah memble karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia. Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s.d. 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.
Tidak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia tidak mampu mempergunakan bahasa. Akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Kalau dipaksakan pun, hal itu akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.
Taufiq kemudian membuat lobi kepada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tidak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sektor lain.
Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat antusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan untuk mendengarkan dan mendiskusikan sastra. Mereka tampak begitu rindu dan banyak yang terkejut melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dalam rangka pembelajaran anak-anak bangsa.
Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta, kemudian meluas se-Jawa Barat-Jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.
Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun, itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa, bahkan bisa mendatangkan uang.
Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra, menjadikan Indonesia -- dalam pengertian sastra - kembali memosisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain, seperti teknologi, ekonomi, dan politik.
Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu, kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah loh jinawi lewat sektor dan tanggung jawab para profesional.
Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isu sangat klise sekarang. Oleh karena itu, pemberdayaan sastra dengan mudah kemudian bisa dianggap mengacu kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tidak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan sering kali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan--bukan kepada sastra-nya.
Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi, baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, maupun Chairil, dan sebagainya. Pemberdayaan sastra adalah usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, melainkaan juga untuk seluruh manusia.
Sastra tidak mungkin, tidak sanggup, dan tidak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tidak memerlukan isolasi. Bahkan, sastra yang terisolasi pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerja sama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingin berbicara kepada setiap manusia/warga negara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan, dan kepangkatan. Bentuk kerja sama itu adalah kerja sama profesional atas dasar kegunaan timbal balik, bukan pemerasan atau pencekokan.
Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simfoni kehidupan sehingga sastra sebagai "sembako batin" jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin, hubungan antara sastra dan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan, tetapi saling membantu, saling mempergunakan, dan saling menyempurnakan.
Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya, sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditas. Potensi sastra sebagai apa pun harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra. Pemberdayaan harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut sehingga ia bisa hadir utuh dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Hal itu tidak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada "penguasa" -- selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.
Pemberdayaan sastra, dalam benak saya, mau tidak mau adalah pemberdayaan sastrawan untuk sementara. Dengan satrawan yang tidak berdaya, tidak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tidak berdaya tidak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam apa pun karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.
Dengan sastrawan yang berdaya, tidak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tidak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tidak kurang pentingnya dari ekplorasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai, dan tidak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.
Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Prancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Prancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Prancis dan Indonesia. Di Prancis, menurut mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinya para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan. Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Akan tetapi, status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Akibatnya, satrawan pun memikul tanggung jawab ilmu pengetahuan atas profesinya.
Sastrawan sebagai pabrik sastra harus lebih dahulu berdaya. Hal itu tidak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel, atau demo. Mustahil pula hal itu terjadi dengan surat sakti, beslit, atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi mulai dari hati pemberdayaan sastrawannya sendiri sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.
Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat bahwa sastra adalah penyambung lidah nasib mereka. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Haji, Ida Pedanda Dau Rauh, Amir Hamzah, Chairil Anwar, Ida Pedanda Sidemen, Pramudya Ananta Toer, W.S. Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Darma, Taufiq Ismail, Sutardji C. Bachri, Sapardi Djoko Damono, Mangunwijaya, Danarto, Umar Kayam, Seno Gumira Aji Darma, Afrizal Malna, Ayu Utami, dan sebagainya.
Sumber: Diknas Pusat Bahasa
Comments
Post a Comment