Merokok Meningkatkan Risiko Terapi Saluran Akar Gigi
Berita ini saya unggah dari situs: Health & Home Tips
di situs tersebut terdapat banyak tips mengenai kesehatan
PENDAHULUAN
Pengobatan saluran akar gigi sering diindikasikan apabila pulpa gigi terinfeksi oleh bakteri. Lesi karies, prosedur kedokteran gigi, dan faktur gigi meningkatkan kemungkinan akses bakteri. Faktor-faktor yang merubah respon host terhadap inflamasi, seperti merokok, juga bisa mempengaruhi risiko infeksi secara tidak langsung dan pengobatannya. Masih sedikit penelitian yang dilakukan tentang hubungan antara merokok dan terapi saluran akar. Bergstorm dkk (2004) melaporkan bahwa perokok memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami perawatan endodontik dan memiliki persentase yang lebih tinggi untuk akar gigi yang diobati dibanding non-perokok, tetapi, setelah disesuaikan untuk usia, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Kekurangan penting dari penelitian ini adalah rancangan penelitiannya yang cross-sectional.
Merokok mengganggu respon tubuh terhadap infeksi, memperburuk penipisan tulang pada kerangka sistemik dan rongga mulut, mengurangi kapasitas pembawaan oksigen oleh darah, dan menyebabkan disfungsi vaskular. Setiap dari jalur patofisiologi ini bisa berpotensi mempengaruhi kesehatan pulpa gigi dan jaringan tulang di sekitarnya dan menghasilkan kejadian terapi saluran akar yang lebih tinggi pada perokok dibanding pada non-perokok. Kami meneliti hipotesis ini pada sebuah kohort laki-laki dewasa yang telah ditindaklanjuti selama tiga dekade dalam Penelitian Logitudinal Dental VA (DLS).
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini kami meneliti efek merokok terhadap kejadian terapi saluran akar, dengan mengontrol faktor risiko yang telah diketahui, pada 811 partisipan pria yang tidak memiliki gigi lagi dalam Penelitian Longitudinal Dental VA (DLS). DLS merupakan sebuah penelitian prospektif panel-tertutup terhadap kesehatan mulut dan penuaan pada pria. Pada awal penelitian di tahun 1968-73, DLS mendaftarkan 1231 laki-laki sehat secara medis, usia 21 sampai 84 tahun, yang juga berpartispasi dalam Penelitian Penuaan Normatif. Follow-up berkisar antara 2 sampai 28 tahun.
Terapi saluran akar diverifikasi pada gambar radiograf dan dievaluasi dengan model regresi bahaya (hazards regression models). Jika dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok, perokok aktif memiliki kemungkinan yang 1,7 kali lebih tinggi untuk mengalami terapi saluran akar (p < 0,001), tetapi penggunaan cerutu dan/atau cangklong tidak terkait signifikan dengan terapi saluran akar. Risiko diantara perokok meningkat seiring dengan meningkatnya lama keterpaparan dan berkurangnya lama tidak menghisap rokok.
PEMBAHASAN
Sejauh pengetahuan kami, ini adalah analisis longitudinal pertama yang menjelaskan merokok sebagai sebuah faktor risiko untuk pengobatan saluran akar. Hasil dari penelitian kami, gigi yang diobati dengan saluran akar, merupakan sebuah pengganti untuk periodontitis periapikal dan memperkirakan terlalu rendah kejadian lesi-lesi sejati seperti ini. Caplan (2004) mereview penelitian-penelitian berbasis komunitas tentang periodontitis periapikal dan terapi saluran akar dan menemukan prevalensi gigi yang tidak berlubang dengan terapi saluran akar, yang memiliki periodontitis periapikal, cukup rendah (dari 0,1 sampai 5%). Demikian juga, Bergstrom dkk (2004) melaporkan bahwa persentase kecil, sekitar 1-3% dari gigi memiliki lesi yang tidak diobati. Akan tetapi, sebuah pertimbangan yang lebih penting adalah bahwa terapi saluran akar hanya merupakan salah satu dampak yang mungkin dari gigi yang memiliki periodontitis periapikal; dampak lainnya adalah pencabutan gigi, yang lebih prevalen pada perokok dibanding pada non-perokok dan menghasilkan proporsi gigi yang diterapi dengan terapi saluran akar yang tanggal selama follow-up.
Kesimpulan dari beberapa penelitian cross-sectional tentang merokok dan periodontitis periapikal tidak konsisten. Bergstrom dkk (2004), pada sebuah penelitian terhadap 241 individu, menemukan tidak ada bukti bahwa merokok dapat meningkatkan risiko lesi periapikal. Walaupun prevalensi periodontitis periapikal lebih tinggi pada perokok aktif dan mantan perokok dibanding pada non-perokok, namun rasio ganjil yang disesuaikan (1,6) tidak signifikan secara statistik dan lebih lanjut berkurang pada analisis regresi logistik berganda. Akan tetapi, para peneliti berfokus pada penyakit endodontik aktif dan tidak mencakup pengobatan masa lalu sebagai dampak. Para perokok memiliki 30% lebih gigi yang diobati secara endodontik, tetapi perbedaan tidak signifikan setelah disesuaikan untuk usia. Pada sebuah penelitian terhadap 613 individu, Kirkevang dan Wenzel (2003) juga melaporkan rasio ganjil sebesar 1,6 untuk merokok dan periodontitis perifer, yang signifikan pada model regresi logistik berganda.
Jalur yang paling umum dilalui bakteri masuk ke dalam rongga pulpa adalah lesi karies pada permukaan mahkota atau permukaan akar. Karies sekunder, restorasi mahkota yang tidak stabil, dan karies akar masing-masing terkait dengan meningkatnya rasio ganjil dari periodontitis periapikal. Dalam penelitian kami, kelayakan restorasi tidak dinilai, dan karies akar tidak ditemukan secara terpisah dalam pengulangan beberapa pemeriksaan pertama, tetapi mahkota dan karies koronal masing-masing meningkatkan risiko terapi saluran akar. Penelitian-penelitian perspektif menunjukkan bahwa perokok cenderung memiliki permukaan akar dan mahkota gigi yang lebih rusak atau berlubang dibandingkan non-perokok.
Para perokok memiliki respon yang terganggu terhadap infeksi. Fungsi leukosit-leukosit polimorfonuklear, makrofage, limfosit sel-T, antibodi, dan immunoglobulin A, G, dan M tertekan pada perokok. Perokok memiliki kadar mediator respon inflammatory fase-akut yang meningkat, seperti TNF-α dan IL-6, yang mampu memberikan kerusakan bagi jaringan. Merokok juga menginduksi sebuah respon inflammatory kronis yang bisa berlangsung bahkan setelah merokok dihentikan. Kadar protein reaktif-C (CRP) dalam serum lebih tinggi pada perokok aktif dibanding pada non-perokok, khususnya diantara mereka yang memiliki durasi merokok lebih lama dan menghisap lebih banyak rokok per tahun, dan berkorelasi terbalik dengan lamanya tidak merokok. Jumlah leukosit perifer juga lebih tinggi pada perokok aktif dibanding pada non-perokok dan menunjukkan hubungan dosis-respon, walaupun fungsinya terganggu. Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa ketika infeksi bakteri mulai terjadi dalam pulpa dan jaringan di sekitarnya, para perokok lebih kecil kemungkinannya dibanding non-perokok untuk mampu membatasi kerusakan.
Penjelasan mendasar lainnya untuk temuan kami adalah penyaluran oksigen yang terganggu dan kerusakan sistem sirkulasi di dalam gigi, kadar karboksihemoglobin dalam darah meningkat pada perokok, menghasilkan kapabilitas pembawaan oksigen yang berkurang. Disamping itu, merokok terkait dengan fungsi mikrovaskular yang terganggu dan injury sel endothelial pada pembuluh darah, kemungkinan karena radikal-radikal bebas yang ditemukan pada asam tembakau. Pembuluh-pembuluh darah pada gingiva sehat terhimpit pada saat terjadi reaksi-reaksi terhadap agen-agen lingkungan yang menginduksi stress, sebuah respon yang identik dengan yang terjadi pada ekstremitas. Karena komponen pada asap rokok menimbulkan stress dan mengurangi volume aliran darah, maka pembuluh-pembuluh darah yang melayani akar gigi kemungkinan menunjukkan tanda-tanda disfungsi vaksular yang membatasi suplai gizi dan menghambat perbaikan seluler. Ini menunjukkan bahwa merokok bisa menjadi sebuah faktor yang berkontribusi bagi kematian jaringan dini dalam rongga pulpa.
Juga ada faktor lain yang berkontribusi bagi meningkatnya risiko terapi saluran akar yang kami amati pada perokok aktif. Merokok berkorelasi terbalik dengan status sosial-ekonomi dan bisa menjadi penanda kesehatan gigi yang buruk atau kurangnya perawatan gigi. Dalam penelitian kami, perokok aktif cenderung memiliki lebih sedikit pendidikan, walaupun penyesuaian untuk karakteristik ini tidak merubah perkiraan risiko, kemungkinan ada perbedaan antara perokok dan non-perokok disamping praktek-praktek kesehatan mulut dan pendidikan yang tidak mampu diukur dengan tepat, tetapi ini bisa lebih lanjut memperkecil hubungan yang diamati antara merokok dan terapi saluran akar.
Penggunaan cerutu atau cangklong untuk merokok terkait dengan penyakit periodontal dan kehilangan gigi pada kohort yang diteliti ini, tetapi tidak terkait dengan risiko terapi saluran akar. Temuan ini bisa disebabkan oleh kecilnya jumlah perokok cerutu dan cangklong, atau bisa disebabkan oleh kesulitan dalam menghitung jumlah rokok yang dihisap. Diantara para perokok cerutu, perkiraan risiko menunjukkan efek ambang sekitar 5 tahun keterpaparan. Karena perokok cerutu cenderung memulai kebiasaan pada usia akhir dibanding perokok filter, maka total keterpaparannya terhadap tembakau bisa dibatasi. Ada kemungkinan bahwa terdapat hubungan antara terapi saluran akar dan rokok cerutu dan cangklong, tetapi kami tidak memiliki ukuran sampel yang cukup besar atau keterpaparan yang cukup tinggi untuk mendeteksinya.
Kekurangan lain dari penelitian ini adalah komposisi jender dan etnis dari populasi partisipan. DLS merupakan sebuah penelitian prospektif panel-tertutup yang tidak mencakup wanita dan kurang dari 5% partisipan dari kaum minoritas. Kami mengharapkan yakin akan tetap menemukan hubungan antara merokok dan terapi saluran akar pada wanita dan kelompok etnis lain, walaupun tingkat risiko mutlak bisa berbeda dan kemungkinan lebih terkait dengan keterpaparan terhadap rokok filter dibanding karakteristik demografi.
Kekuatan penting dari penelitian kali ini yang membedakannya dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah jumlah sampel yang besar, rancangan prospektif dengan waktu follow-up yang lama, interval sering dimana radiograf diambil, kontrol untuk karies dan restorasi, dan temuan hubungan dosis-respon dengan lamanya keterpaparan dan durasi tidak merokok.
KESIMPULAN
Hasil studi ini menunjukkan bahwa merokok bisa memiliki peranan kausal dalam perkembangan lesi yang menghasilkan terapi saluran akar, dan sebaliknya, bahwa pencegahan merokok dan penghentian merokok merupakan strategi penting dalam mereduksi risiko terapi saluran akar.
di situs tersebut terdapat banyak tips mengenai kesehatan
PENDAHULUAN
Pengobatan saluran akar gigi sering diindikasikan apabila pulpa gigi terinfeksi oleh bakteri. Lesi karies, prosedur kedokteran gigi, dan faktur gigi meningkatkan kemungkinan akses bakteri. Faktor-faktor yang merubah respon host terhadap inflamasi, seperti merokok, juga bisa mempengaruhi risiko infeksi secara tidak langsung dan pengobatannya. Masih sedikit penelitian yang dilakukan tentang hubungan antara merokok dan terapi saluran akar. Bergstorm dkk (2004) melaporkan bahwa perokok memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami perawatan endodontik dan memiliki persentase yang lebih tinggi untuk akar gigi yang diobati dibanding non-perokok, tetapi, setelah disesuaikan untuk usia, perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Kekurangan penting dari penelitian ini adalah rancangan penelitiannya yang cross-sectional.
Merokok mengganggu respon tubuh terhadap infeksi, memperburuk penipisan tulang pada kerangka sistemik dan rongga mulut, mengurangi kapasitas pembawaan oksigen oleh darah, dan menyebabkan disfungsi vaskular. Setiap dari jalur patofisiologi ini bisa berpotensi mempengaruhi kesehatan pulpa gigi dan jaringan tulang di sekitarnya dan menghasilkan kejadian terapi saluran akar yang lebih tinggi pada perokok dibanding pada non-perokok. Kami meneliti hipotesis ini pada sebuah kohort laki-laki dewasa yang telah ditindaklanjuti selama tiga dekade dalam Penelitian Logitudinal Dental VA (DLS).
METODE DAN HASIL PENELITIAN
Dalam penelitian ini kami meneliti efek merokok terhadap kejadian terapi saluran akar, dengan mengontrol faktor risiko yang telah diketahui, pada 811 partisipan pria yang tidak memiliki gigi lagi dalam Penelitian Longitudinal Dental VA (DLS). DLS merupakan sebuah penelitian prospektif panel-tertutup terhadap kesehatan mulut dan penuaan pada pria. Pada awal penelitian di tahun 1968-73, DLS mendaftarkan 1231 laki-laki sehat secara medis, usia 21 sampai 84 tahun, yang juga berpartispasi dalam Penelitian Penuaan Normatif. Follow-up berkisar antara 2 sampai 28 tahun.
Terapi saluran akar diverifikasi pada gambar radiograf dan dievaluasi dengan model regresi bahaya (hazards regression models). Jika dibandingkan dengan orang yang tidak pernah merokok, perokok aktif memiliki kemungkinan yang 1,7 kali lebih tinggi untuk mengalami terapi saluran akar (p < 0,001), tetapi penggunaan cerutu dan/atau cangklong tidak terkait signifikan dengan terapi saluran akar. Risiko diantara perokok meningkat seiring dengan meningkatnya lama keterpaparan dan berkurangnya lama tidak menghisap rokok.
PEMBAHASAN
Sejauh pengetahuan kami, ini adalah analisis longitudinal pertama yang menjelaskan merokok sebagai sebuah faktor risiko untuk pengobatan saluran akar. Hasil dari penelitian kami, gigi yang diobati dengan saluran akar, merupakan sebuah pengganti untuk periodontitis periapikal dan memperkirakan terlalu rendah kejadian lesi-lesi sejati seperti ini. Caplan (2004) mereview penelitian-penelitian berbasis komunitas tentang periodontitis periapikal dan terapi saluran akar dan menemukan prevalensi gigi yang tidak berlubang dengan terapi saluran akar, yang memiliki periodontitis periapikal, cukup rendah (dari 0,1 sampai 5%). Demikian juga, Bergstrom dkk (2004) melaporkan bahwa persentase kecil, sekitar 1-3% dari gigi memiliki lesi yang tidak diobati. Akan tetapi, sebuah pertimbangan yang lebih penting adalah bahwa terapi saluran akar hanya merupakan salah satu dampak yang mungkin dari gigi yang memiliki periodontitis periapikal; dampak lainnya adalah pencabutan gigi, yang lebih prevalen pada perokok dibanding pada non-perokok dan menghasilkan proporsi gigi yang diterapi dengan terapi saluran akar yang tanggal selama follow-up.
Kesimpulan dari beberapa penelitian cross-sectional tentang merokok dan periodontitis periapikal tidak konsisten. Bergstrom dkk (2004), pada sebuah penelitian terhadap 241 individu, menemukan tidak ada bukti bahwa merokok dapat meningkatkan risiko lesi periapikal. Walaupun prevalensi periodontitis periapikal lebih tinggi pada perokok aktif dan mantan perokok dibanding pada non-perokok, namun rasio ganjil yang disesuaikan (1,6) tidak signifikan secara statistik dan lebih lanjut berkurang pada analisis regresi logistik berganda. Akan tetapi, para peneliti berfokus pada penyakit endodontik aktif dan tidak mencakup pengobatan masa lalu sebagai dampak. Para perokok memiliki 30% lebih gigi yang diobati secara endodontik, tetapi perbedaan tidak signifikan setelah disesuaikan untuk usia. Pada sebuah penelitian terhadap 613 individu, Kirkevang dan Wenzel (2003) juga melaporkan rasio ganjil sebesar 1,6 untuk merokok dan periodontitis perifer, yang signifikan pada model regresi logistik berganda.
Jalur yang paling umum dilalui bakteri masuk ke dalam rongga pulpa adalah lesi karies pada permukaan mahkota atau permukaan akar. Karies sekunder, restorasi mahkota yang tidak stabil, dan karies akar masing-masing terkait dengan meningkatnya rasio ganjil dari periodontitis periapikal. Dalam penelitian kami, kelayakan restorasi tidak dinilai, dan karies akar tidak ditemukan secara terpisah dalam pengulangan beberapa pemeriksaan pertama, tetapi mahkota dan karies koronal masing-masing meningkatkan risiko terapi saluran akar. Penelitian-penelitian perspektif menunjukkan bahwa perokok cenderung memiliki permukaan akar dan mahkota gigi yang lebih rusak atau berlubang dibandingkan non-perokok.
Para perokok memiliki respon yang terganggu terhadap infeksi. Fungsi leukosit-leukosit polimorfonuklear, makrofage, limfosit sel-T, antibodi, dan immunoglobulin A, G, dan M tertekan pada perokok. Perokok memiliki kadar mediator respon inflammatory fase-akut yang meningkat, seperti TNF-α dan IL-6, yang mampu memberikan kerusakan bagi jaringan. Merokok juga menginduksi sebuah respon inflammatory kronis yang bisa berlangsung bahkan setelah merokok dihentikan. Kadar protein reaktif-C (CRP) dalam serum lebih tinggi pada perokok aktif dibanding pada non-perokok, khususnya diantara mereka yang memiliki durasi merokok lebih lama dan menghisap lebih banyak rokok per tahun, dan berkorelasi terbalik dengan lamanya tidak merokok. Jumlah leukosit perifer juga lebih tinggi pada perokok aktif dibanding pada non-perokok dan menunjukkan hubungan dosis-respon, walaupun fungsinya terganggu. Pengamatan-pengamatan ini menunjukkan bahwa ketika infeksi bakteri mulai terjadi dalam pulpa dan jaringan di sekitarnya, para perokok lebih kecil kemungkinannya dibanding non-perokok untuk mampu membatasi kerusakan.
Penjelasan mendasar lainnya untuk temuan kami adalah penyaluran oksigen yang terganggu dan kerusakan sistem sirkulasi di dalam gigi, kadar karboksihemoglobin dalam darah meningkat pada perokok, menghasilkan kapabilitas pembawaan oksigen yang berkurang. Disamping itu, merokok terkait dengan fungsi mikrovaskular yang terganggu dan injury sel endothelial pada pembuluh darah, kemungkinan karena radikal-radikal bebas yang ditemukan pada asam tembakau. Pembuluh-pembuluh darah pada gingiva sehat terhimpit pada saat terjadi reaksi-reaksi terhadap agen-agen lingkungan yang menginduksi stress, sebuah respon yang identik dengan yang terjadi pada ekstremitas. Karena komponen pada asap rokok menimbulkan stress dan mengurangi volume aliran darah, maka pembuluh-pembuluh darah yang melayani akar gigi kemungkinan menunjukkan tanda-tanda disfungsi vaksular yang membatasi suplai gizi dan menghambat perbaikan seluler. Ini menunjukkan bahwa merokok bisa menjadi sebuah faktor yang berkontribusi bagi kematian jaringan dini dalam rongga pulpa.
Juga ada faktor lain yang berkontribusi bagi meningkatnya risiko terapi saluran akar yang kami amati pada perokok aktif. Merokok berkorelasi terbalik dengan status sosial-ekonomi dan bisa menjadi penanda kesehatan gigi yang buruk atau kurangnya perawatan gigi. Dalam penelitian kami, perokok aktif cenderung memiliki lebih sedikit pendidikan, walaupun penyesuaian untuk karakteristik ini tidak merubah perkiraan risiko, kemungkinan ada perbedaan antara perokok dan non-perokok disamping praktek-praktek kesehatan mulut dan pendidikan yang tidak mampu diukur dengan tepat, tetapi ini bisa lebih lanjut memperkecil hubungan yang diamati antara merokok dan terapi saluran akar.
Penggunaan cerutu atau cangklong untuk merokok terkait dengan penyakit periodontal dan kehilangan gigi pada kohort yang diteliti ini, tetapi tidak terkait dengan risiko terapi saluran akar. Temuan ini bisa disebabkan oleh kecilnya jumlah perokok cerutu dan cangklong, atau bisa disebabkan oleh kesulitan dalam menghitung jumlah rokok yang dihisap. Diantara para perokok cerutu, perkiraan risiko menunjukkan efek ambang sekitar 5 tahun keterpaparan. Karena perokok cerutu cenderung memulai kebiasaan pada usia akhir dibanding perokok filter, maka total keterpaparannya terhadap tembakau bisa dibatasi. Ada kemungkinan bahwa terdapat hubungan antara terapi saluran akar dan rokok cerutu dan cangklong, tetapi kami tidak memiliki ukuran sampel yang cukup besar atau keterpaparan yang cukup tinggi untuk mendeteksinya.
Kekurangan lain dari penelitian ini adalah komposisi jender dan etnis dari populasi partisipan. DLS merupakan sebuah penelitian prospektif panel-tertutup yang tidak mencakup wanita dan kurang dari 5% partisipan dari kaum minoritas. Kami mengharapkan yakin akan tetap menemukan hubungan antara merokok dan terapi saluran akar pada wanita dan kelompok etnis lain, walaupun tingkat risiko mutlak bisa berbeda dan kemungkinan lebih terkait dengan keterpaparan terhadap rokok filter dibanding karakteristik demografi.
Kekuatan penting dari penelitian kali ini yang membedakannya dengan penelitian-penelitian terdahulu adalah jumlah sampel yang besar, rancangan prospektif dengan waktu follow-up yang lama, interval sering dimana radiograf diambil, kontrol untuk karies dan restorasi, dan temuan hubungan dosis-respon dengan lamanya keterpaparan dan durasi tidak merokok.
KESIMPULAN
Hasil studi ini menunjukkan bahwa merokok bisa memiliki peranan kausal dalam perkembangan lesi yang menghasilkan terapi saluran akar, dan sebaliknya, bahwa pencegahan merokok dan penghentian merokok merupakan strategi penting dalam mereduksi risiko terapi saluran akar.
Comments
Post a Comment